Terngiang sapaan manja Imah di ponsel tentang daster kembang-kembang berwarna merah jambu. Telah pula aku berhasil mendapatkannya dengan mempertaruhkan lelah-lapar. Sekarang daster itu berada di antara himpitan pakaianku. Teringat pula dia menambahkan, bahwa derajat kepulanganku lebih tinggi ketimbang daster. Apakah aku tega menyadap air matanya, setelah janjiku berujung dusta?
Aku ingin menangis, tapi tak ingin kelihatan cengeng.
"Nggak ada tiket, ya?" Seorang lelaki menyapa dengan mulut bau pispot. Aku mengangguk malas-malasan. "Tenang saja, Boy. Semua bisa diatur, asal…." Dia terdiam sejenak sambil menjentikkan jari tangan.
"Maksud kamu?"
"Masih ada bangku kosong. Asal situ mau nambah ongkos." Dia cengengesan. Tentu saja tak mengurangi aura sangar tato naga  yang melingkar di lehernya.
"Berarti kamu mark up?"
"Yang aku tahu kakap. Situ mau nggak?" Aku menggeleng. Dia mengoceh. Tak ingin ocehannya tumbuh di kepalan, dan membuat bibirku bocor, sepeda motor kugeber. Suaranya hilang ditelan angin.
***
Selepas berbuka, tiba-tiba kepalaku menyala. Bagaimana dengan Pak Arnold? Dia atasanku, mungkin tak akan berbuat yang mengecewakan kepada bawahannya. Bukankah tahun ini dia juga akan mudik ke Medan? Tak ada salahnya aku menyempil di mobil pribadinya.
Sengaja aku ke masjid perusahaan setelah shalat maghrib. Pak Arnold biasanya shalat tarawih di sana.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pak Arnold sedang santai di teras masjid. Melihatku memarkirkan sepeda motor, dia langsung melambai.