Terminal ibarat penggorengan. Mengepul. Seiring angin panas berpusing, mengakhiri perjalanan di pinggir selokan. Lelaki dengan akar bahar mencekik pergelangan, menyemburkan asap sigaret sambil membual tak jelas.Â
Aku mendengus pelan. Asap itu tak akan menggodaku, setelah sembilan belas tahun tahan berpantang. Kecuali aroma iwak peda yang mengintip dari tirai warung makan di sebelah loket. Cleguk, kutelan ludah asam dan pahit.
"Jadi, tidak ada lagi ya, Mbak?" tanyaku kepada perempuan bertahi lalat besar di atas bibir. Â Dia membalas dengan mendengus, pura-pura tak mendengar. Asyik mengukir kuku, kemudian menghembuskannya ke arahku.
Aku teringat Atet. Anak semata wayang itu mengajuk, agar aku bisa mudik lebaran ini. Kami akan sama-sama keliling kampung bersepeda motor. Takbir berkemundang  di sepanjang kendaraan bermotor mengular. Seperti biasa, Atet mengapungkan kembang api. Mulutnya seolah tak jeda mengulang takbir. Sungguh malam syahdu!
Hampir sembilan tahun setelah bekerja di perusahaan pertambangan minyak,  tak satu kali pun aku bisa menghabiskan malam lebaran bersama Atet dan istri. Paling cepat aku baru bisa  mudik seminggu setelah lebaran. Atau tak sama sekali, karena aku baru lapang waktu ketika perusahaan shut down setiap Juni. Pekerjaan sebagai sopir vacuum truck sepuluh ton, menyebabkanku selalu mengalah. Baru sekarang aku bisa libur, persis dua hari sebelum lebaran. Artinya, aku masih tiba pada saat malam takbiran mengapung di seluruh kampung. Aku bisa melihat Atet menyalakan kembang api dan bertakbir ; Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd.
Getas Bangka yang selalu dinantikan Atet, telah rapi di dalam dus. Â Ada lima bungkus. Agar getas itu tahan lama, maksudku, biar lama menghabiskannya. Kendati aku tak lagi di kampung, setidaknya ketika mengunyah getas berderup-derup, Atet terbayang wajah lelah ayahnya saat menyadap keringat nun di negeri yang jauh. Tapi, apa sekarang kuasaku?
Aku sangat tak cerdik urusan mudik. Harusnya sebulan sebelum lebaran, aku sudah memesan tiket. Kesibukan tanpa jedalah yang membuatku tak mampu mengatur waktu.
"Tolonglah, Mbak!"
"Aku bilang tak ada lagi. Cammanalah Bapak ini."
"Bangku tempel?"
"Jangankan bangku tempel, di belang saja sudah berjejal." Dia melayani penumpang yang akan berangkat senja ini. Aku mengusap keringat sambil mengucapkan terima kasih. Dia pura-pura tak mendengar, meskipun ekor matanya mengawasiku menjauh. Dia kembali dengan tugas mengukir kuku, setelah penumpang tadi pergi.