"Cuma, data yang dibutuhkan lima milyar." Husnan mengkerut.Â
"Itu mudah kuatur." Alit menepiskan tangan, pertanda dia ingin seorang diri. Setelah Husnan pergi, dia menelepon seseorang tentang uang lima milyar.
"Pokoknya, kalau aku gol, hutang langsung kubayar, berikut bunga-bunganya. Deal?"
"Kalau tak gol?" tanya seseorang di seberang dengan nada cemas.
"Pasti gol!"
***
Siang ini matahari bersinar cukup terik. Halaman bak kepulan. Debu-debu beterbangan. Sebentar angin berkesiur, tapi bukan mengabarkan kesejukan, hanya menambah panas menggigit. Beberapa orang duduk merenung dalam sel. Beberapa lainnya sibuk bercerita ngalor-ngidul.Â
Ada juga yang tertawa-tawa dan mengobrol entah dengan siapa. Ada yang merajuk tak mau makan, karena ingin gulai kari kambing.Â
Di sudut paling sudut, di lorong paling ujung, seorang lelaki sedang menggores-gores dinding memakai paku. Beberapa kali dia terpergok berbuat itu oleh petugas, dan diberikan sanksi tak boleh makan malam. Dinding kembali dicat dengan warna senada. Percuma, dia seolah tak kapok!
Mungkin sekilas kau pernah melihat lelaki itu. Atau mungkin kesal melihatnya memenuhi kota dengan baleho besar. Baleho yang sempat menghantammu ketika hujan turun lebat. Baleho yang melukai batang pohon yang menurutmu sangat menganggu pertamanan.Â
Tak salah lagi tebakanmu, dia adalah Alit. Lelaki yang berambisi menjadi anggota DPR. Lelaki yang kecewa karena Iqbal mengandaskannya dengan telak. Bukan mengandaskan sebenarnya, Cuma dia sakit hati Iqbal melenggang ke senayan, sedangkan dia pusing membalikkan hutang.Â