Tak bisa meredakan degup di dada, dia membuka lemari yang berisi minuman keras berbagai merk. Dia memilih minuman dengan alkohol  super tinggi. Menenggaknya sedikit, membuat bibirnya panas berujung kelu. Degup jantungnya seakan berlari marathon, berdetak cepat, namun membuatnya sangat lelah.Â
Dia kembali duduk di sofa, menarik rokok dari kotak, kemudian menghunjamkannya ke asbak. Dia meraih telepon, dan berbicara kepada seseorang. Dia mencoba memejamkan mata, meskipun yang berkelebat di mata hanya ketakutan.
Ponsel hampir jatuh dari tangannya, ketika seseorang mengetuk pintu, dan memutus pembicaraan Alit dengan seseorang di seberang. Malas-malasan Alit menyeret langkah menuju pintu. Sesosok orang di depan pintu dengan senyum penjilat, membuatnya mendengus. "Masuk!" Alit kembali duduk di sofa. "Ada apa? Kurang uang lagi?"
Orang itu, Husnan, duduk pelan di ujung tempat tidur yang kusut. Sehelai rambut panjang yang menempel di sprei putih, membuatnya tersenyum. "Baru minum tonik, Â kok bos kusut?"
"Tonik apa maksudmu!" ketus Alit sambil menyeka keringat di tengkuk. Husnan tetap tersenyum, tapi dia meraih sehelai rambut itu, sehingga Alit mati kutu. Alit mengibaskan tangan, pertanda hal itu tak perlu dibahas. Dia mengalihkan pembicaraan tentang pileg. Dia merasa lebih siap kalah daripada menang. Tapi, bagaimanapun caranya, dia mesti menang.
"Masalah Iqbal, ya? Dia tak berniat mencalon anggota DPR. Dia didesak  warga, bahkan mereka sanggup menambah dana dia mancalon anggota DPR. Sepertinya sih, dia lawan tanding yang tangguh," jelas Husnan sambil meraih minuman beralkohol di depan Alit.
"Itulah yang aku khawatirkan. Dia selalu berkata dari dulu, bahwa rejeki tak akan lari ke mana. Bagaimanapun dia diinjak, tetap saja bertunas, tetap saja bisa tumbuh menyemak hatiku. Tak peduli apakah dia bekas teman main saat di panti asuhan. Tak peduli apakah dia pernah membantuku. Brengsek! Firasatku dia akan gol." Alit menggebrak meja, sehingga Husnan tersedak.Â
"Mungkin dengan cara halus kita bisa, Bos." Husnan  menarik napas panjang.
"Maksudmu dukun? Ah, aku tak percaya itu. Menghabiskan uang, iya. Berhasil, sudah pasti tak akan." Dia menggaruk-garuk kening, lalu tertawa sambil menepuk sofa. "Nah, kau ada ide lain?"
"Aku tadi pikir bos ada ide. Tahunya cuma gertakan doang," keluh Husnan.Â
Perbincangan mendadak alot, mulai dari rencana memanipulasi data di tps, hingga serangan fajar berikutnya, hingga pembagian sembako besar-besaran. Tapi, Alit memilih membangun jalan perkampungan yang dari dulu paling sering jadi kubangan ketimbang jalan. "Itu lebih mendulang  suara." Alit mengepalkan tinju.