Ayah membuatku sebal. Biasanya setiap tahun baru, kami selalu jalan-jalan. Tahun baru kemarin, kami ke kebun binatang. Kemarinnya lagi kami pergi ke rumah nenek di kampung. Tapi tahun ini....?
"Ayah lagi banyak kerjaan. Ito harus mengerti, ya!" bujuk Ibu.Â
Aku melengos pergi. Bukannya membelaku, Ibu malahan membela Ayah. Paling sebal, ketika sore hari menjelang malam tahun baru, Ayah membawa hadiah yang jelek untukku.Â
"Ini teman baru untukmu. Anggap saja hadiah tahun baru. Maaf  ya, Ito. Kita tak akan ke mana-mana tahun baru ini. Ayah harus lebih sering lembur di kantor. Banyak pekerjaan." Ayah langsung masuk ke kamar.
Tinggal aku yang kesal sambil menatap ke layar tivi. Ibu mempersilahkan teman baruku itu duduk di sofa.Â
Teman baruku bernama Ijon. Sebenarnya dia hanya tinggal di rumahku selama seminggu. Orang tuanya masih teman sekerja Ayah. Kebetulan mereka ada urusan kantor ke luar provinsi. Ayah berbaik hati menawarkan jasanya. Apalagi kalau bukan menginapkan Ijon di rumah kami.
Ijon selain pendiam, juga berkulit hitam. Matanya besar dan gigi-giginya bersusun tak rata. Sesekali dia mencoba tersenyum kepadaku. Tapi kubalas dengan membuang muka. Biar saja dia tahu kalau aku sedang sebal. Dengan begitu dia tak betah di rumahku. Uh! Mungkin gara-gara dia, maka kami sekeluarga tak ada acara jalan-jalan di tahun baru ini.
"Nanti malam Ijon tidur di kamar Ito, ya!" Ibu masuk ke kamarku. Ijon sedang ke warung bersama Ayah.
"Di kamar ini? Apa tak sebaiknya di gudang saja, Bu? Kan bisa dibersihkan! Lagian, di sini cuma ada satu dipan," kataku setengah berteriak.
"Dipannya kan cukup untuk orang dua!" Ibu melotot. "Ito kok jadi pelit begini. Biasanya ramah dan dermawan."
"Pelit apanya, Bu?"
Ibu menghela napas. "Pelit senyum kepada Ibu, Ayah dan Ijon. Pelit kamarnya diisi berdua Ijon. Pelit dipan. Harusnya tahun baru diisi dengan kedermawanan. Bukan pelit begitu." Ibu mengelitiki aku. Aku tak tahan, tertawa terpingkal-pingkal.
Malam harinya, tibalah saat yang paling menyebalkanku. Ijon benar-benar tidur sedipan denganku. Semoga saja badannya tak bau. Karena sebal, aku buru-buru memejamkan mata dan tak bersuara. Padahal, biasanya aku masih suka membaca buku cerita di meja belajar, satu sejam sebelum aku tidur.
Setelah terlelap, tiba-tiba aku dibangunkan suara kresak-kresek. Seperti suara kertas. Apakah aku hanya salah mendengar? Mungkin itu suara daun mangga di halaman.Â
Tapi suara itu semakin jelas. Persis di belakangku.
Pelan-pelan aku berbalik. Ijon tak ada di dipan. Sebentuk kepala bergerak-gerak di dekat meja belajarku. Itu Ijon! Apa yang sedang dia kerjakan?
"Ehm!" Aku mengejutkannya.
"Eh, Ito. Maaf, aku sampai membangunkanmu." Dia tersenyum malu-malu.
"Kau sedang mengerjakan apa?" tanyaku ketus.
"Besok kan tahun baru. Malam tahun baru, biasanya aku sudah berdiri di teras rumah bersama ayah dan ibu sambil membunyikan terompet. Teet! Teet! Teet!"
"Jadi, sekarang kau sedang membuat apa?"Â
"Terompet!" jawabnya singkat.
Hebat! Aku takjub sekali. Hilang sudah rasa sebalku. Ijon mengajariku membuat terompet. Kami membuat dua buah. Satu untuk Ijon dan satu untukku. Semua perlengkapan untuk membuat terompet, memang sudah dia bawa dari rumahnya.
Pagi hari sebelum Ayah minum kopi di teras, kubisikkan kata-kata ke telinga Ayah, "Ayah, terima kasih hadiah teman barunya, ya?"
----sekian---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI