Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Golok

15 Mei 2019   12:54 Diperbarui: 15 Mei 2019   13:22 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak Sapuan, apakah kita harus berbuat kasar begini?" tanyaku saat kami mengaso di dalam mobil. Di antara tangisan para ibu dan sumpah serapah para bapak pedagang. 

"Ini perintah bapak kita! Kota kita harus bersih agar dapat adipura. Dan bisa jadi kita bisa cepat naik pangkat," katanya sambil menyeka keringat.

Ingin rasanya aku mencekik Sapuan. Tapi aku ingat pakaian yang melekat di tubuhku---seragam ajudan. Aku merasa tertipu. Lakuku selama menjadi preman, taklah sampai begini. Paling tidak aku mengamuk seperti banteng bila mauku tak dituruti. Tapi tak sampai mengacak-acak dagangan. Tak sampai membanting gerobak ke got. Bila mauku dituruti, setoran sesuai tarif, semua berjalan adem-ayem. Bahkan dulu bila ada orang berseragam ingin melabrak pasar, aku turun tangan membantu pedagang.

Ternyata menjadi orang yang tampak necis, tak selamanya harus necis hatinya. Orang yang berpakaian kotor dan bau, pun tak melulu hatinya kusut dan jorok. Semua bisa dibedaki. Yang berhati busuk, di luar bersih dan selalu disanjung orang. Yang berhati bersih, tak jarang dihina dan ditindas orang. Kendati ada beberapa yang berhati bersih dan luarannya necis, bisa jadi tersisih oleh ketamakan. Kuingat Mandri, salah seorang bawahan Sapuan. Kami sering berbincang. Mandri hampir sepuluh tahun menjadi karyawan, tapi jabatannya tak naik-naik, bahkan pernah turun. 

"Kenapa bisa begitu? Jabatan kok diturunkan?" tanyaku kala itu.

"Kelak Bapak akan tahu sendiri!" katanya dengan kalimat bertangkai dan membuat penasaran. 

* * *

Hari ini langit cerah. Hatiku juga cerah. Duduk di kursi kerajaanku, ternyata lebih enak daripada di kursi kerajaan orang. Aku tak lagi perlu bermanis-manis mulut. Yang penting hatilah yang manis

 "Lha, Bang Marpaung di sini lagi rupanya? Sudah berhenti menjadi pejabat?" canda Mijan sambil membawa sepinggan gorengan.

"Jangan panggil aku Marpaung. Panggil saja Golok. Mulai sekarang aku mengawal seluruh pedagang di sini. Tak boleh lagi yang seenak perutnya mengacau," jawabku sambil membenarkan letak topi.

"Wah, kapan-kapan mencalon saja jadi bapak kita, Bang. Kami yakin Bang Golok disokong seluruh orang di sini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun