Namaku Golok. Entah ilham dari mana, hingga Bapak tercetus menabalkan namaku demikian. Seharusnya aku bertanya kepadanya perihal itu. Akan tetapi Bapak meninggal dunia saat aku belum bisa mengucapkan kata; golok.
"Seharusnya ada nama yang lebih bagus untukku selain Golok!" Suatu kali aku memerotes kepada Emak. Yang diprotes hanya tersenyum sambil tak lepas-lepas melihat hasil rajutannya.
Entah pula karena bernama Golok, aku sedemikan ditakuti warga. Temperamenku memang tinggi. Suka marah dan membentak-bentak. Ketika berusia tujuh belas tahun, aku telah menguasai pasar. Menjadi centeng. Upeti yang kuterima selalu memenuhi kantong. Kendati yang tersisa sampai ke rumah, hanya beberapa lembar ribuan. Maklum, upeti biasanya habis di pasar. Dipakai berjudi, minum-minum, merokok atau bersantap juadah yang lezat-lezat.
Sampai sekarang aku masih menjadi centeng di pasar. Dan pagi tadi aku sudah memiting leher pedagang bakso, membogem kernet bis kota yang ogah mengeluarkan uang setoran, juga membentak orang berseragam yang berangasan menggasak kaki lima. Saat bersantai menyeruput kopi---masih dengan hati menggelegak---Yastrib menemuiku.
"Wajahmu sudah sering kulihat di koran. Sudah kaya rupanya!" todongku.
Yastrib kawan sepermainanku. Bedanya dia sekolah sampai bergelar sarjana. Sedangkan aku SD saja tak tamat. Dia berkarib dengan orang-orang necis. Dia pun sudah bisa duduk manis di perusahaan terpandang, sekaligus dekat dengan pejabat teras pemerintahan.Â
Lama kami tak berjumpa. Lama aku tak bisa mencicipi buah keringatnya. Kalaupun dia sekarang di hadapanku, pastilah butuh bantuan, misal mengurusi perkara yang tak jauh-jauh dari kekerasan. Meskipun tersenyum sumringah, kutahu berita yang akan pecah di mulutnya adalah keras!
"Ah, biasa saja, Marpaung!" katanya. Orang yang menghormatiku lebih sering memanggilku dengan panggilan parna, bukan Golok. Kendati di belakang, mereka seenak perut mengataiku dengan Golok. "Kebetulan aku banyak urusan dengan pemberitaan dan lagi ada hajad menjadi tim sukses calon bapak kita." Dia mengeluarkan rokok putih. Aku terbahak. Kugencet saja kotak rokok bermerk barat itu dengan jempol tangan. Aku masih lebih suka rokok kretek.
"Jadi, akan kau apakan aku? Jadi centeng bapak kita?" Aku tergelak. Tambah tergelak karena Yastrib memang pintar merayu. Seorang perempuan mengantarkan beberapa botol minuman dan sebungkus besar kacang kulit, ya... tak lain sebagai sekapur sirih. Persembahan untuk genderuwo pasar.
Perbincangan menjadi lancar. Yastrib berniat mengangkatku menjadi tim suskes mengepalai semua preman pasar. Janjinya, kelak jika bapak kita terpilih menjadi pemimpin kota, adalah untukku kursi yang basah. Begitu kutanya kursi yang bagaimana, Yastrib hanya mengakhiri tanyaku dengan kata; adalah... Dan perlu kuralat, berita yang pecah di mulut Yastrib, ternyata selembut agar-agar.
Tak biasanya, kemudian pulang ke rumah, aku langsung mandi bersih-bersih. Berpakaian agak necis, rambut klimis. Emak sampai tergelak, lalu membenarkan sugi tembakau di mulutnya. Dalam hatinya pasti bunga mawar bermekaran. Dia yakin aku sedang jatuh cinta. Dia yakin sebentar lagi aku mengatakan ingin menikah. Dia yakin segera memomong cucu nomor satu dari anak satu-satunya. Ya, bagaimana pun Emak sudah sangat mengharap itu. Bahkan sudah berbilang tahun telingaku gatal karena dia selalu merecoki dengan kata; menikah!
Tak malu juga aku lama mematut di cermin. Seorang lelaki di situ seolah sedang mengenakan jas. Mengenakan dasi. Celana hitam berkain mahal dan mengilap. Kaca mata untuk bergaya seolah kaca mata pemikir. "Nah, jenggot ini harus dirapikan. Hanya perlu kumis melintang agar tetap garang," kataku berbicara kepada sosok di cermin.
Cerita mengenai aku menjadi tim sukses bapak kita, seperti hembusan angin, merebak ke seantero pasar. Rekan-rekan preman merapat. Mereka menyatakan dukungan. Mereka siap merayu seluruh penghuni pasar agar menjagokan bapak kita. Mencoblosnya di bilik suara. "Coblos tepat di hidungnya!" Begitu mereka mengatakan dengan senyum penuh kemenangan.
Entah karena ketajaman nama Golok, aku bisa menebas penghalang bapak kita agar bisa berkebun di kota ini; menjadi pemimpin yang adil. Yastrib seperti janjinya, menjadikan aku sebagai ajudan orang berpangkat. Pekerjaan yang memimpikannya pun aku tak pernah.Â
Dan sungguh untuk menjadi orang---katakanlah kantoran---bukan perkara mudah. Tak semudah mengompas orang di pasar. Tak semudah menceracau karena teler. Aku harus bersikap arif dan bijaksana. Apalagi dengan orang-orang berwajah wibawa dengan pakaian yang tak kalah wibawa. Kebiasaan yang sangat jarang kulakukan seakan menyembah-nyembah orang, terpaksa kulakukan. Tersenyum dibuat-buat, padahal aku ingin sekali membentak orang-orang yang menganggapku seujung jari kelingking.
Beginilah kiranya menjadi orang-orang berkerah putih. Harus pandai menipu perasaan. Beda dengan di pasar. Bila hati sedang suka, tabiat bisa berubah serupa kembang mawar yang sedang mekar. Bila hati lagi meradang, tak ayal nama Golok menabiat Golok. Tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Semua berjalan dengan alami.
"Hari ini kita menggrebek pasar!" tekan Sapuan, orang yang kuajudani. Pikirku, grebek pasar sama dengan acara di tivi-tivi. Mungkin sekadar menggelar hiburan, atau beramal bagi-bagi berkah.
"Kau kan mantan preman. Jadi, kawal kita-kita agar bisa aman." Sapuan tersenyum. Sejak aku menjadi ajudan, Sapuan selalu ramah kepadaku. Dia tahu muasalku. Dia tahu tabiat mantan preman bisa saja muncul bila hatiku sedang tak suka.
Iring-iringan mobil kemudian merangkak pelan di tengah kemacetan jalan raya. Setengah jam lebih, pasar yang dituju pun terlihat samar-samar di pengkolan jalan. Itu pasarku. Pasarku semasa menjadi preman.
Iring-iringan mobil berhenti. Seperti serbuan laron, orang-orang berseragam menghambur dari truk. Pedagang-pedagang yang melapak di kaki lima, berteriak, sebagian berlari ketakutan. Sesaat hatiku menggelegak. Aku tahu salah seorang di antaranya adalah Mijan, tetanggaku. Juga ada yang lain, perempuan-perempuan yang sering kugoda. Ingin aku menyela perbuatan mereka. Ingin memerotes kepada Sapuan agar menghentikan tingkah membabibuta mereka. Tapi Sapuan telah melebur dengan anak buahnya. Dia menyelipkan pestol di pinggang.
"Bang Marpaung, bagaimana ini?" Seorang perempuan menatapku sedih. "Kami baru berjualan, kenapa harus diusir? Ini untuk yang pertama kali kami alami."
Aku tercekat. Aku ingin marah. Apalagi melihat beberapa orang berseragam menendang lapak. Memasukkan beberapa gerobak ke dalam bak truk. Menodong dengan pentungan beberapa lelaki yang mencoba melawan.
"Pak Sapuan, apakah kita harus berbuat kasar begini?" tanyaku saat kami mengaso di dalam mobil. Di antara tangisan para ibu dan sumpah serapah para bapak pedagang.Â
"Ini perintah bapak kita! Kota kita harus bersih agar dapat adipura. Dan bisa jadi kita bisa cepat naik pangkat," katanya sambil menyeka keringat.
Ingin rasanya aku mencekik Sapuan. Tapi aku ingat pakaian yang melekat di tubuhku---seragam ajudan. Aku merasa tertipu. Lakuku selama menjadi preman, taklah sampai begini. Paling tidak aku mengamuk seperti banteng bila mauku tak dituruti. Tapi tak sampai mengacak-acak dagangan. Tak sampai membanting gerobak ke got. Bila mauku dituruti, setoran sesuai tarif, semua berjalan adem-ayem. Bahkan dulu bila ada orang berseragam ingin melabrak pasar, aku turun tangan membantu pedagang.
Ternyata menjadi orang yang tampak necis, tak selamanya harus necis hatinya. Orang yang berpakaian kotor dan bau, pun tak melulu hatinya kusut dan jorok. Semua bisa dibedaki. Yang berhati busuk, di luar bersih dan selalu disanjung orang. Yang berhati bersih, tak jarang dihina dan ditindas orang. Kendati ada beberapa yang berhati bersih dan luarannya necis, bisa jadi tersisih oleh ketamakan. Kuingat Mandri, salah seorang bawahan Sapuan. Kami sering berbincang. Mandri hampir sepuluh tahun menjadi karyawan, tapi jabatannya tak naik-naik, bahkan pernah turun.Â
"Kenapa bisa begitu? Jabatan kok diturunkan?" tanyaku kala itu.
"Kelak Bapak akan tahu sendiri!" katanya dengan kalimat bertangkai dan membuat penasaran.Â
* * *
Hari ini langit cerah. Hatiku juga cerah. Duduk di kursi kerajaanku, ternyata lebih enak daripada di kursi kerajaan orang. Aku tak lagi perlu bermanis-manis mulut. Yang penting hatilah yang manis
 "Lha, Bang Marpaung di sini lagi rupanya? Sudah berhenti menjadi pejabat?" canda Mijan sambil membawa sepinggan gorengan.
"Jangan panggil aku Marpaung. Panggil saja Golok. Mulai sekarang aku mengawal seluruh pedagang di sini. Tak boleh lagi yang seenak perutnya mengacau," jawabku sambil membenarkan letak topi.
"Wah, kapan-kapan mencalon saja jadi bapak kita, Bang. Kami yakin Bang Golok disokong seluruh orang di sini."
Aku terdiam. Aku tak memiliki jawaban apa-apa. Menjadi bapak kita harus kuat iman. Tapi tak ada salahnya aku mencalon jadi bapak kita musim depan. Sesuatu harus dirubah. Segala harus diperbuat, jangan hanya menyerah dan menjadi penonton. Musim depan jangan lupa mencoblos di muncung Golok.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H