Aku mengikut langkah kaki Rahib yang tegas dan gegas. Kaki itu telah lama terpacak menungguku. Sedemikian sabar seperti pemiliknya yang berulangkali tabah menyuruhku shalat tepat waktu. Aduhai, apa yang dituturkannya berulang-ulang kepadaku adalah benar. Tentang shalat tepat waktu. Tentang shalat berjamaah.
Selama kami sama-sama di kampung, sebenarnya boleh dibilang akulah yang paling dekat dengan masjid. Dekat dengan masjid, bukan berarti rumahku hampir berdempetan dengan masjid. Tapi jiwaku yang seolah asyik-masyuk memenuhi seantero rumah Allah itu.Â
Aku paling senang itikaf di sana sekali seminggu, sejak isya sampai selepas shubuh. Aku hampir tak pernah terlambat shalat fardu dan sekaligus merampungkannya dengan berjamaah. Aku selalu lebih dulu memegang mikrofon sementara Rahib masih di rumahnya. Kami seolah berlomba-lomba azan.Â
Tapi sekarang, setelah pelanggan baksoku lumayan melimpah, aku telah berulangkali tak shalat fardu. Memang shubuh, maghrib dan isya, tetap kulaksanakan meski lebih sering terlambat. Pastinya aku tak melaksanakannya dengan berjamaah. Tak seperti Rahib yang selalu menyempatkan diri mengunjungi mushalla yang tak jauh dari bedeng sewaan kami. Bahkan kerap aku mendengar suaranya yang merdu ketika azan. Ah, semoga Allah memaafkanku. Semoga Dia memahami betapa aku butuh uang banyak demi memenuhi kehendak anak-istriku.
"Ris, kita shalat maghrib dulu di Masjid Agung, ya! Sudah hampir azan, nih!" Rahib menghadang langkahku.
"Ah, aku di rumah saja. Capek, Hib! Biarlah barang-barang kita aku yang mengiringi sampai ke bedeng."
"Shalatlah dulu! Tukang becak juga sabar menunggu. Lagipula kita berempat bisa shalat berjamaah bersama-sama," sarannya. Dua tukang becak itu menatapku bersaling-silang menatap Rahib dan barang bawaan di becak masing-masing. Aku yakin mereka enggan menuruti kemauan Rahib. Kutahu mereka puasa saja malas, apalagi sampai shalat fardu, apalagi hingga harus berjamaah.
"Badan lengket, nih!"
Rahib tersenyum sambil beranjak meninggalkanku dan dua tukang becak yang langsung gigih mengayuh becak masing-masing. Tak sampai setengah jam seluruh barang-barang sudah sampai di halaman bedeng sewaan. Rahib juga telah bersama kami, memasukkan barang-barangnya ke bedengnya. Sementara aku memasukkan pula barang-barangku ke bedengku.
"Jangan lupa shalat maghrib!" Rahib mengingatkanku. Aku mengangguk ragu-ragu. Kututup rapat pintu bedengku. Aku duduk berselonjor di lantai sambil menghitung penghasilan dari dompet pinggangku. Lumayan banyak. Kutambahkan dengan uang di dalam kotak simpananku. Sepertinya cukup membeli sebuah sepeda mini sederhana dan kalung emas delapan belas karat. Besok pagi aku akan libur berjualan. Kemudian membeli sepeda dan kalung itu di pasar. Petang hari barulah pulang ke kampung menumpang bis malam.
Khayal yang melambung ini, membuatku tak sadar berbaring di atas lantai dan terlelap. Aku tak sadar, sehingga pagi-pagi benar aku merasa seseorang telah mengguncang-guncang bahu sambil memanggil namaku dengan nada panik.