Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gerobak Bakso

30 April 2019   09:37 Diperbarui: 30 April 2019   09:41 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Suara itu menggema lagi memukul-mukul lorong hatiku. Waktu ashar tiba. Rahib mengingatkan, lebih tepatnya memarahiku. Dia mengatakan aku telah lalai menjalankan perintah Allah. 

"Kau telah kehilangan shalat lohor, Ris!"

"Ah, hanya sekali, Hib!" Pembeliku mulai sepi. 

"Sekali kau bilang? Yang kemarin-kemarin bagaimana?"

"Ah, kau seperti tak tahu pembeliku berjubel!" kilahku. Pembeli kembali berdatangan.

"Sekarang shalat ashar sama-sama. Tutup dulu daganganmu." Rahib setengah memaksa.

"Rejeki datang, Hib!" Aku tak menoleh lagi kepada tetanggaku itu. Wajah-wajah lapar pembeli membuat naluri dagangku terlecut. Langsung tak kuperdulikan Rahib apakah dia sudah mengenakan peci haji dan menyelempangkan sarung di bahu. Peduli amat!

Hmm, aku tersenyum lega. Rejeki dari dulu dan sekarang bertumpuk dan semakin bertumpuk. Aku telah menyisihkan sebagian untuk modal pulang kampung kemudian bertemu istri dan anakku. Oh, ya, sudah berapa lama aku tak pulang menjenguk mereka?. Sebulan, dua bulan? Ya, Allah, hampir empat bulan. Tak terasa rinduku menggumpal menyesak dada. Aku bersalah telah meninggalkan mereka sekian lama, selain hanya sesekali menelepon mereka lewat warung telepon.

Akhirnya, pukul enam petang semua bubar. Aku tak sadar Rahib sudah selesai merapikan tempat jualannya, dan seluruh barang-barang, kecuali gerobak, telah berada di atas becak langganannya. Dia melirikku. Dia tersenyum. Pasti dia ingin bertanya apakah aku sudah shalat ashar. Tapi cepat-cepat diurungkannya. Dia yakin aku tentu hanya menjawab; belum!

Aku mengikuti ritualnya. Meletakkan barang-barang di atas becak langgananku. Meminggirkan gerobak hingga menyentuh dinding toko yang sudah tutup, kemudian meraba-raba dompet pinggang yang sudah penuh. Wah, sedikit lagi niatku akan tersampaikan.  Melihat istriku sumringah setelah kugenggamkan ke tangannya kalung emas delapan belas karat yang pernah diingatkannya kepadaku terakhir kali aku meneleponnya. Mendengar jerit senang anakku ketika melihat di tangan bapaknya ini ada sepeda mini impiannya. Empat bulan lalu dia dengan berseloroh mengatakan kepadaku ingin memiliki sepeda mini. Itu pun kalau akhirnya aku mempunyai cukup uang untuk membelikannya. 

Istriku, aku memenuhi janji seorang suami. Anakku, bapakmu ini telah berhasil mewujudkan anganmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun