Kekuatan saya bertahan demi menjauhi Ingge hanya sebuah kebohongan. Buktinya saya semakin merasa dekat dengannya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Saya juga mulai senang membawa kursi dan duduk-duduk di depan kamar. Kebiasaan yang sangat jarang saya lakukan. Saya selalu berharap Ingge keluar. Menyapa. Kemudian dia membawa kursinya dan duduk di sebelah saya.Â
Rupanya Tuhan berkenan mengabulkan harapan saya. Seperti diatur, setiap kali saya duduk-duduk di depan kamar, Ingge pasti keluar. Tersenyum. Menyeret kursinya. Sekali-sekali menyeret tangan anaknya. Aang, Wildan dan Wilson memendam marah kepada saya. Saya dianggap teman yang menggunting dalam lipatan. Saya yang pura-pura tak mau ikut lomba, tapi menyalip saat mereka menganggap saya bukanlah musuh. Saya tentu meminta maaf  kepada teman-teman saya ini. Saya mengatakan bahwa setiap manusia tak bisa mengatakan tak menyintai sesuatu atau seseorang bila belum melihat dan mengenalnya lebih jauh.Â
Bagaimana tentang Rina? Mereka mencoba mengingatkan saya. Nyatanya saya pasrah. Saya mengatakan bahwa Ingge taklah melebihi Rina. Tapi Ingge sanggup membuat saya bergetar.Â
Dalam seminggu berselang, saya telah membuat dua keputusan besar dan membahayakan. Pertama, memutuskan cinta Rina, sampai dia menangis dan mengancam akan bunuh diri. Nyatanya tak jadi, dan dia melepaskan saya pergi dengan tawakal. Kedua, berniat mengatakan rasa cinta kepada Ingge, dan memintanya menunggu saya tiga atau empat tahun ke depan untuk menikahinya. Dan malam ini adalah kesempatan saya mengatakannya. Saya mengenakan pakaian yang paling saya senangi. Saya membawa sekotak coklat kacang yang paling digemari Ingge. Saya membawa mobilan remote control untuk anak saya, eh bukan, bakal anak saya.
Saya meminta doa restu kepada Aang, Wildan dan Wilson. Yang saya dapatkan hanya dengusan. Tapi tak apalah. Saya diam-diam mengetuk pintu kamar Ingge. Suara berat menjawab dari dalam. Seperti suara laki-laki. Saya cemas. Apakah Ingge diam-diam memiliki suami simpanan di kamarnya?
Ternyata pendengaran saya tak salah. Seorang lelaki berkumis tebal menyambut saya. Disusul Ingge dan anaknya. Saya gugup. Saya mencoba menenangkan hati. Ingat Naldi! Bisa saja lelaki itu sepupu atau om Ingge.
Ingge takjub melihat barang bawaan saya. Dia menyuruh saya masuk, dan si lelaki pergi ke luar kamar. Saya langsung memberikan sekotak coklat kacang dan sebuah mobil remote control ini. Ingge tersenyum. Anaknya lebih tersenyum.
Tiba-tiba Ingge berkata, "Sorry ya, Nal! Mas orangnya begitu. Ada tamu malahan pergi. Dia itu suami saya. Dia pekerja kapal yang pulang satu tahun sekali."
Saya takut-takut berkata nyaris berbisik, "Bukankah kau seorang janda?"
Dia melotot. Heran. Lalu tertawa keras sambil menutup mulutnya. "Ah, siapa yang bilang? Orang-orang sering menambahi-nambahi cerita. Padahal saya tak pernah berbincang-bincang dengan mereka."
Tubuh saya menggigil. Ingin rasanya segera menelepon Rina dan meminta maaf kepadanya.