"Tak sudi!"
"Tawaranku?" Wildan mengambil-alih omongan.
"Pokoknya tetap tak sudi!"
Aang merengut. Katanya, "Kalau kau memang tetap mempertahankan kamar ini, kami bertiga berharap kau jangan pernah mencoba menggoda perempuan itu!"
"Menggoda perempuan itu? Kalian bermimpi! Sehebat apa dia dibandingkan Rina!"
"Sumpah?!" Wilson mendesak.
"Untuk apa bersumpah-sumpah! Pokoknya semua keluar dari kamar saya! Saya mau tidur!" Ketiga teman saya itu langsung pergi sambil menggerutu. Sementara saya tak sedikit pun menoleh ke tempat tidur. Tadi itu hanya trik saya. Siapa pula orang bodoh yang tidur di petang yang cerah ini?
Saya mengenakan sepatu kets dan mengganti pakaian dengan pakaian olah raga. Sudah hampir seminggu rasanya saya tak berlari-lari kecil mengelilingi taman kota. Badan menjadi lemah, dan mata lebih sering mengantuk.
Suasana gedung ini lengang. Syukurlah, tiga setan itu pasti sudah di kamarnya mendengkur. Atau paling tidak membicarakan tentang si janda. Orang-orang yang bodoh!Â
Pak Safawi menyapa saya. Dia petugas jaga malam. Sepertinya dia baru bangun. Matanya mengerjap-ngerjap seakan mencoba menghilangkan kerak-kerak air mata yang menghalangi pandangannya.
 Hmm, sudah hampir dua minggu saya di sini. Mungkin saya terlalu sombong. Selain Pak Sawafi, dan pasti ketiga teman saya, tak ada lagi orang di gedung ini yang saya kenal dekat. Beberapa memang sering saya lihat, bahkan sekali-dua pernah berpapasan dengan saya. Tapi saling tak tahu nama, selain kami hanya melemparkan senyuman yang sama-sama dingin.