Taman kota lumayan ramai. Beberapa orang berlari-lari kecil seperti saya. Beberapa makan di warung waralaba. Beberapa duduk-duduk di bangku taman bersama pasangan masing-masing. Ahai, saya teringat Rina! Sekali-sekali saya ingin mengajaknya kencan di taman ini. Namun tunggu dulu. Bayang-bayang Rina seketika terhapus dari benak saya. Seorang perempuan cantik melampaui saya. Dia berlari lebih kencang daripada saya. Parfumnya yang menggoda membuat dada saya berdebur-debur serupa ombak di lautan. Ingin rasanya menghentikan deburan itu, berganti suara Rina yang menggoda. Akan tetapi saya tetap tak sanggup. Terlebih-lebih seolah ada magnet yang memiliki daya tarik yang kuat, sehingga tiba-tiba saya mengejar perempuan itu.
Dia sedemikian cepat menghilang. Di bangku taman dia tak ada. Di warung waralaba apalagi. Saya berhenti. Menunggunya melintasi saya. Nyatanya sampai sepuluh menit, saya benar-benar kehilangannya.
Saya lunglai. Keinginan melanjutkan lari-lari kecil, musnah sudah. Perempuan itu telah membuat perasaan saya mengharu-biru. Oho, inikah namanya cinta? Ataukah saya telah terjebak aroma parfum perempuan yang lumayan memikat itu?
Sabar, sabar! Jangan bermain apa Naldi! Ingat Rina! Saya putuskan pulang kembali ke kamar sewaan itu. Sebelum melangkah pergi saya masih sempat memutari taman kota sekali lagi. Dan harapan saya pupus seketika. Dia benar-benar hilang. Tapi ketika hampir sampai di kamar saya, seorang perempuan menyapa saya.
"Mas yang ada di taman tadi, ya?" Perempuan itu. Perempuan berparfum yang mengharubirukan saya. Dia tersenyum. Ada rasa bangga menggelora dada ini. Â Kiranya dia mengingat saya. Berarti perduli. Orang yang mengingat orang lain dalam perjumpaan sekilas, pasti menaruh hati kepada orang lain itu. Hehehe, pendapat yang menguntungkan saya.
Saya langsung mengiyakan. Kami bersalaman. Lama. Saya tatap matanya, oh, indahnya. Saya tatap tubuhnya, oh seksinya. Mata saya berbinar-binar. Hati berdenyar-denyar. Perasaan seperti ini tak pernah saya rasakan ketika bersama Rina. Memang Rina cantik. Tapi cantik yang aman-aman saja. Cantik yang hanya menyelamatkan muka saya; "Hmm, Naldi berhasil juga mendapatkan kekasih yang cantik!" Mungkin itu komentar orang-orang.Â
Memang masa depan saya lebih aman, karena mendapatkan seorang kekasih calon dokter seperti Rina. "Naldi pasti hidup tenang beristrikan dokter!" Barangkali itu komentar selanjutnya. Meskipun sesungguhnya saya belum tentu berhasil memperistri Rina.
Perempuan itu menyebutkan namanya; Ingge. Manis! Nama itu mendenging di telinga saya. Ketika dia mengatakan bahwa kamar kami bersebelahan, seolah ada yang menyesak di dada saya. Saya memastikan apakah dia adalah penghuni baru, jawabannya sebuah anggukan. Dada saya semakin sesak. Bahkan bertambah sesak saat dia mengatakan bahwa dia sudah menikah dan memiliki anak seorang. Lemaslah saya. Hanya saja saya tersenyum ketika dia masuk ke kamarnya. Saya lunglai dan rebahan di atas kasur.
Gila! Bagaimana mungkin saya menyintainya? Padahal saya sudah mengaku-ngaku kepada Aang, Wildan dan Wilson, bahwa jagoan mereka ini tak akan terpikat kepada janda yang kerap mereka perbincangkan. Belum lagi embel-embel tentang kesetiaan saya kepada Rina. Ini tak baik. Sungguh tak baik! Saya mencoba menenangkan debur di dada. Saya berendam di kamar mandi demi mendinginkan emosi yang labil. Membaca buku kemudian. Makan mie kemudian. Setan alas! Saya menjadi bertambah rindu kepada Ingge.
Sedang apa dia kini, ya? Adakah dia memikirkan saya? Apakah dia telah mendapatkan lelaki calon ayah anaknya? Apa jadinya bila saya tetap menyintainya dan memaksanya untuk menyintai saya? Apa kata Rina? Apa kata orangtua saya? Berpacaran dengan janda? Kau bukan anak kami! Itu yang mungkin diucapkan ayah dan ibu saya. Menikahi janda? Kau anak durhaka! Kata yang lebih kejam meneror saya terus-menerus. Ini harus dihentikan. Ini harus dilupakan. Wajah Ingge! Duh, wajah itu semakin jelas di pelupuk mata ini.
* * *