Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lapar

26 April 2019   11:22 Diperbarui: 26 April 2019   11:55 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

"Pokoknya kau kutraktir!" Suaranya renyah. Aku menekan pangkal hidung. Pekerjaan melelahkan hari ini, membuatku sedikit pusing. "Ayolah, kau tak ingin mencoba masakan di restoran baru itu? Khas masakan Italia lho, Bam!" Tawanya pecah. Aku memijit-mijit bahu. Selain kepala sedikit pusing, bahuku terasa pegal. Usai menggerak-gerakkan badan ke kiri dan ke kanan, aku baru menjawab setuju.

"Ok, kalau begitu. Kutunggu di depan kantormu, ya! Hmm, sekitar jam berapa? Jam lima lewat, oke?"

"Baiklah!" Aku tersenyum. Dia mematikan telepon.

"Dari siapa?" Euis bertanya sambil lalu.

"Aldi! Dia mengajakku makan-makan di restoran baru Jalan Sudirman."

"Enak, dong!"

"Begitulah!" Aku tertawa sambil buru-buru mematikan komputer serta merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja.

Aldi itu sepupuku. Dia baru enam bulan ini bekerja di sebuah perusahaan minyak dan gas. Lagaknya, lumayanlah membuat iri. Tapi dia tak lupa kepadaku. Dia kerap menelepon sekadar mengajakku nonton misalnya. Atau berburu kuliner. Aldi memang senang makan. Dulu sih semasa pengangguran, selera makannya dikekang. Setelah bekerja di perusahaan hebat itu, plus di posisi basah alias logistik, selera makannya ibarat banteng yang baru keluar dari kerangkeng. Menyeruduk ke mana-mana. Entah kali ke berapa dia meneraktirku. Dia menjadi sangat awas perkara makanan. Mendengar ada tempat makan-makan yang baru, pasti dia ingin mencoba duluan. Mendengar di tempat anu masakannya lumayan, pun dia kesengsem ingin mencoba. Meskipun taruhannya harus menempuh jarak yang jauh.

Tadi, saat dia mengajakku bersantap di restoran khas Italia itu, sebenarnya aku sudah menolak. Selain tak enak dengan anak-istri yang makan ala kadarnya di rumah, aku kasihan menghambur-hamburkan uang hanya untuk kesenangan lidah. Ya, sebab lidahlah yang merasakan kenikmatan makanan atau minuman, bukan perut. Perut itu sekadar merasakan kenyang, sakit kekenyangan, lapar atau sakit kelaparan.

* * *

Aldi menyetir mobil dengan wajah sumringah. Dia kelihatan bertambah makmur dan parlente saja. Pakaiannya bermerk. Sepatunya juga. Parfum yang dia kenakan, kutebak lumayan berkelas. Mengenai mobil, hmm...sangat mewah untuk karyawan teri seperti aku. Kata Aldi, itu mobil operasional khusus untuknya.

Namun ada satu kelebihan yang membuat penampilan Aldi berkurang. Perutnya yang mulai menonjol. Padahal dulu, perutnya kempis. Ukuran pinggangnya saja hanya 31 atau terkadang 32. Kalau sekarang dapat kutaskir hampir 34.

"Kau sudah hidup enak sekarang." Aku mengencangkan sabuk pengaman. Mobil meluncur pelan melintasi jalanan yang padat merayap.

"Ya, begitulah! Rejeki itu tak ke mana, Bam. Kapan-kapan kalau ada pekerjaan yang cocok untukmu, aku akan memberitahumu. Pokoknya di situ siplah! Gaji standard internasional. Beruntung pula aku bekerja di bagian logistik. Rekanan bisnis perusahaan selalu memberikan persenan untukku, setiap kali mereka memasok barang."

"Tapi hati-hati lho, Aldi! Jangan terlalu maniak makan yang enak-enak dan mahal. Lagi pula sayang kan uangnya dipakai untuk yang begituan terus. Bagusnya kau berikan saja ke Om Arnal. Kau tak kasihan melihat kehidupan keluarganya sekarang ini cukup melarat?"

Aldi mendengus. Dia paling benci dinasihati. Sudah berulang-ulang dia mengingatkanku untuk tak berbuat begitu. Tapi karena merasa aku benar, aku tetap berulang-ulang pula melakukannya. Aku berharap hatinya kelak luluh.

Memang Aldi berhak marah kepada Om Arnal. Semasa Aldi penggangguran, Om Arnal seringkali mengejeknya dengan sebutan si bego. Pernah juga dia melamar pekerjaan di perusahaan Om Arnal. Entah sebab apa lamarannya ditolak mentah-mentah.

"Mampuslah dia!" geram Aldi. "Kau sudah berulang-ulang kuingatkan!"

"Maaf! Tapi sekarang ini Om Arnal perlu bantuan. Dia bangkrut total. Lagi pula dia bukan Om Arnal yang dulu."

"Kau!"

Aku terdiam. Musik lembut yang memenuhi kabin mobil, mengisi keheningan. Aku merasa tak nyaman. Untung saja Aldi tak betah sediaman. Begitu tiba di depan restoran khas Italia itu, celotehnya berhamburan. Dia bagaikan ensiklopedia berjalan. Dia tahu detail tentang makanan paling dahsyat dari Italia. Kapan dia mempelajarinya, aku tak tahu. Aku hanya menanggapi ocehannya sambil tersenyum, atau menjawab singkat-singkat kalau dia bertanya.

Aldi benar-benar maniak. Dia bersantap seolah belum menemukan makanan enak selama berbulan-bulan. Sementara aku biasa-biasa saja. Bagiku tak ada yang menarik dari seluruh makanan yang terhidang di meja. Perutku adalah perut kampung. Seleranya khas masakan warteg. Maka, usai bersantap, aku hanya meminta pelayan membungks makanan di hadapan kami. Ketimbang mubazir, toh!

"Bungkus? Apa kau pikir ini warteg, Bam?"

Aku cengengesan. Pelayan tersenyum, nyaris seperti mengejek.

"Dikotakkan saja," ralatku.

Aldi menggeleng tegas. "Untuk istrimu dan keponakanku, ya? Sudah, pesan yang baru saja. Sekali-sekali mereka harus merasakan yang enak-enak, toh! Hehehe, maafkan aku. Maklumlah masih bujangan, jadi tak ingat kalau di rumahmu ada istri dan anak-anakmu."

Dua kantong plastik besar, akhirnya kujinjing hati-hati dengan perasaan tak nyaman. Namun Aldi santai saja. Ketika mobil yang dikemudikannya baru berjalan sekitar lima menit, aku meminta diturunkan di Jalan Kapuk. Dia menelengkan kepala dengan heran. Hanya saja, dia orang yang tak mau tahu urusan orang lain, maka dia hanya diam sambil memarkirkan mobil. "Kapan-kapan kita makan lagi, ya! Tak usah takut, aku yang traktir." Dia melambai.

Aku buru-buru menyetop becak saat melihat mobilnya sudah hilang di tengah keramaian lalulintas. Satu-satunya tujuanku adalah rumah Om Arnal. Kasihan dia, sejak perusahaannya bangkrut, dia dan keluarganya tinggal di lorong sempit dan becek. Dia memang sombong saat kaya. Tapi sekarang tak lagi. Apa salahnya aku berbagi, apalagi dia sudah jauh berubah lebih baik.

"Hai, lama sudah tak ke mari, Bam? Apa karena aku tak sekaya dulu?" Om Arnal merangkulku sambil terbahak-bahak.

"Tak juga, Om!" Aku melambai ke arah Sonia, putri bungsu Om Arnal. Matanya yang besar membola. Dia langsung merebut salah satu kantong plastik di tanganku.

Om Arnal memelototi Sonia. Kataku, "Itu memang khusus untuk di sini. Satu lagi untuk keluarga di rumah."

Kami kemudian berbincang lama. Sesekali hatiku luluh ketika mendengar ocehan Sonia tentang makanan itu; sedap, enak, kapan dapat yang beginian lagi? Kasihan Sonia. Sebelumnya dia terbiasa hidup serba kecukupan, sekarang untuk makanan seperti itu, dia merasa sangat hebat. Mungkin dia berharap setiap hari bisa bersantap yang enak-enak. Heh, beda benar dengan dua anakku. Paling banter setiap Sabtu malam hanya bisa kuajak makan bakso, sate atau mie ayam di taman kota. Atau di Minggu siang makan ayam goreng Paman Sam di mall.

Sebelum pulang aku memberikan sedikit uang kepada Om Arnal untuk berobat istrinya yang sakit-sakitan. Ah, lega rasanya. Aku bisa melenggang kangkung dengan hati lapang. Sebelum menyetop bis menuju rumahku, aku berbelok sebentar ke toko alat-alat kantor. Tadi pagi anakku memesan mistar baru karena yang lama sudah patah.

"Bam!" Suara berat menyetop langkahku. Aku terperangah seolah melihat beruang yang siap mencakarku sampai mampus. Mungkin wajahku seketika berubah seputih kapas. "Kau ke rumah Om Arnal, ya?"

"Aku...."

"Mana kantong plastik yang satunya?"

"Maaf...."

"Kau memang susah dikasih tahu. Sudah! Besok-besok aku tak akan meneraktirmu lagi!"

"Di!" Aku mengejarnya. Tapi tubuhnya telah lenyap di dalam mobil yang kemudian dipacu cepat.

* * *

Aldi akhirnya tak pernah lagi meneraktirku apa saja, termasuk makan. Dia seakan menganggapku musuh. Pernah tiga kali aku menelepon, tapi dia langsung mematikan ponselnya. Mungkin karena kesal, suatu hari dia mengirimkanku sms, kira-kira demikian; pokoknya gak ada cerita traktiran2. Aku ada teman yang lebih mendukung seleraku.

Aku merasa bersalah. Sewaktu ada pesta pernikahan seorang sepupu, aku berharap bisa bertemu dia. Sayang, aku terpaksa menelan kekecewaan. Aldi ternyata telah pindah ke kota Jakarta. Dia memperoleh jabatan baru yang lebih basah dan mantap.

Ketika istri Om Arnal meninggal dunia, dia tak menunjukkan batang hidungnya. Hanya ada karangan bunga bertuliskan namanya terpajang di ruang depan rumah Om Arnal. Aldi benar-benar telah melupakan sanak-saudara. Bahkan kala aku dengan rasa malu teramat sangat, meminjam uang via sms kepadanya, dia hanya membalas; yang sabar saja, aku lagi butuh uang juga.

Setahun lebih tak lagi bersua Aldi, hingga suatu hari aku mendapat kabar kalau dia sedang dirawat di ICCU sebuah rumah sakit mewah di Jakarta. Segera saja aku menelepon ibunya.

"Aldi sakit apa, Tante?"

"Komplikasi. Jantung, diabetes dan darah tinggi. Itulah, Tante sudah berulangkali mengingatkan Aldi agar jaga-jaga masalah makanan. Tapi kau tahu sendiri kan kalau dia itu hobby makan. Kau ke Jakarta saja menjengukn Aldi, ya!"

"Insya Allah, Tante!" Aku teringat Aldi. Aku teringat selera kulinernya. Aku ingat cara makannya.

---sekian--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun