"Bungkus? Apa kau pikir ini warteg, Bam?"
Aku cengengesan. Pelayan tersenyum, nyaris seperti mengejek.
"Dikotakkan saja," ralatku.
Aldi menggeleng tegas. "Untuk istrimu dan keponakanku, ya? Sudah, pesan yang baru saja. Sekali-sekali mereka harus merasakan yang enak-enak, toh! Hehehe, maafkan aku. Maklumlah masih bujangan, jadi tak ingat kalau di rumahmu ada istri dan anak-anakmu."
Dua kantong plastik besar, akhirnya kujinjing hati-hati dengan perasaan tak nyaman. Namun Aldi santai saja. Ketika mobil yang dikemudikannya baru berjalan sekitar lima menit, aku meminta diturunkan di Jalan Kapuk. Dia menelengkan kepala dengan heran. Hanya saja, dia orang yang tak mau tahu urusan orang lain, maka dia hanya diam sambil memarkirkan mobil. "Kapan-kapan kita makan lagi, ya! Tak usah takut, aku yang traktir." Dia melambai.
Aku buru-buru menyetop becak saat melihat mobilnya sudah hilang di tengah keramaian lalulintas. Satu-satunya tujuanku adalah rumah Om Arnal. Kasihan dia, sejak perusahaannya bangkrut, dia dan keluarganya tinggal di lorong sempit dan becek. Dia memang sombong saat kaya. Tapi sekarang tak lagi. Apa salahnya aku berbagi, apalagi dia sudah jauh berubah lebih baik.
"Hai, lama sudah tak ke mari, Bam? Apa karena aku tak sekaya dulu?" Om Arnal merangkulku sambil terbahak-bahak.
"Tak juga, Om!" Aku melambai ke arah Sonia, putri bungsu Om Arnal. Matanya yang besar membola. Dia langsung merebut salah satu kantong plastik di tanganku.
Om Arnal memelototi Sonia. Kataku, "Itu memang khusus untuk di sini. Satu lagi untuk keluarga di rumah."
Kami kemudian berbincang lama. Sesekali hatiku luluh ketika mendengar ocehan Sonia tentang makanan itu; sedap, enak, kapan dapat yang beginian lagi? Kasihan Sonia. Sebelumnya dia terbiasa hidup serba kecukupan, sekarang untuk makanan seperti itu, dia merasa sangat hebat. Mungkin dia berharap setiap hari bisa bersantap yang enak-enak. Heh, beda benar dengan dua anakku. Paling banter setiap Sabtu malam hanya bisa kuajak makan bakso, sate atau mie ayam di taman kota. Atau di Minggu siang makan ayam goreng Paman Sam di mall.
Sebelum pulang aku memberikan sedikit uang kepada Om Arnal untuk berobat istrinya yang sakit-sakitan. Ah, lega rasanya. Aku bisa melenggang kangkung dengan hati lapang. Sebelum menyetop bis menuju rumahku, aku berbelok sebentar ke toko alat-alat kantor. Tadi pagi anakku memesan mistar baru karena yang lama sudah patah.