Namun ada satu kelebihan yang membuat penampilan Aldi berkurang. Perutnya yang mulai menonjol. Padahal dulu, perutnya kempis. Ukuran pinggangnya saja hanya 31 atau terkadang 32. Kalau sekarang dapat kutaskir hampir 34.
"Kau sudah hidup enak sekarang." Aku mengencangkan sabuk pengaman. Mobil meluncur pelan melintasi jalanan yang padat merayap.
"Ya, begitulah! Rejeki itu tak ke mana, Bam. Kapan-kapan kalau ada pekerjaan yang cocok untukmu, aku akan memberitahumu. Pokoknya di situ siplah! Gaji standard internasional. Beruntung pula aku bekerja di bagian logistik. Rekanan bisnis perusahaan selalu memberikan persenan untukku, setiap kali mereka memasok barang."
"Tapi hati-hati lho, Aldi! Jangan terlalu maniak makan yang enak-enak dan mahal. Lagi pula sayang kan uangnya dipakai untuk yang begituan terus. Bagusnya kau berikan saja ke Om Arnal. Kau tak kasihan melihat kehidupan keluarganya sekarang ini cukup melarat?"
Aldi mendengus. Dia paling benci dinasihati. Sudah berulang-ulang dia mengingatkanku untuk tak berbuat begitu. Tapi karena merasa aku benar, aku tetap berulang-ulang pula melakukannya. Aku berharap hatinya kelak luluh.
Memang Aldi berhak marah kepada Om Arnal. Semasa Aldi penggangguran, Om Arnal seringkali mengejeknya dengan sebutan si bego. Pernah juga dia melamar pekerjaan di perusahaan Om Arnal. Entah sebab apa lamarannya ditolak mentah-mentah.
"Mampuslah dia!" geram Aldi. "Kau sudah berulang-ulang kuingatkan!"
"Maaf! Tapi sekarang ini Om Arnal perlu bantuan. Dia bangkrut total. Lagi pula dia bukan Om Arnal yang dulu."
"Kau!"
Aku terdiam. Musik lembut yang memenuhi kabin mobil, mengisi keheningan. Aku merasa tak nyaman. Untung saja Aldi tak betah sediaman. Begitu tiba di depan restoran khas Italia itu, celotehnya berhamburan. Dia bagaikan ensiklopedia berjalan. Dia tahu detail tentang makanan paling dahsyat dari Italia. Kapan dia mempelajarinya, aku tak tahu. Aku hanya menanggapi ocehannya sambil tersenyum, atau menjawab singkat-singkat kalau dia bertanya.
Aldi benar-benar maniak. Dia bersantap seolah belum menemukan makanan enak selama berbulan-bulan. Sementara aku biasa-biasa saja. Bagiku tak ada yang menarik dari seluruh makanan yang terhidang di meja. Perutku adalah perut kampung. Seleranya khas masakan warteg. Maka, usai bersantap, aku hanya meminta pelayan membungks makanan di hadapan kami. Ketimbang mubazir, toh!