Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kucing Garong

24 April 2019   08:05 Diperbarui: 24 April 2019   08:09 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi :.pixabay

Ketika ibu mengingatkanku agar waspada terhadap kucing garong yang sekonyong masuk ke dalam rumah, aku menanggapinya biasa-biasa saja. Mungkin di lingkungan rumah baruku itu banyak kucing garong yang senang mencuri ikan. Maklum, aku dan istri telah memisahkan diri dari orangtuaku. Dari rumah mereka yang berada di kompleks perumahan mewah, kami pindah ke rumah kontrakan kecil berkamar dua di bilangan pinggiran kota. Katakanlah daerah kumuh. Tentu rata-rata orang memiliki kucing. Selain untuk teman bermain, hewan jinak dan lucu itu berguna menakut-nakuti tikus. 

Ya, ya. Kami memang tak ingin terus-terusan menggelendot di ketiak orangtua. Cukup lama sudah membuat mereka terbebani (bila mereka benar-benar merasa terbebani). Hampir sepuluh tahun! Hingga anak kami yang pertama dan satu-satunya sudah sekolah kelas dua esde. 

Malu? Ya, sudah terang! Keterlaluan, dalam waktu yang sedemikian lama, kami masih betah tinggal di rumah orangtua! Apa kata tetangga? Karena sayang orangtua? Omong-kosong! Setiap anak yang sudah menikah, harus terbang serupa burung merpati mencari penghidupannya sendiri. 

Melihat aku menanggapi ucapannya biasa-biasa saja, ibu menarik tanganku. Dia berbicara nyaris berbisik. "Maksudku, waspada kalau tiba-tiba ada lelaki lain masuk ke rumahmu. Faham, kan?" lanjut ibu sambil  manyun. Aku tertawa dalam hati. Ada-ada saja tabiat orangtua seumuran ibu. Cemasnya tak ketulungan! Mana mungkin Irene, istriku, yang kupacari lima tahun, plus mengarungi biduk bernama keluarga bersamaku selama sepuluh tahun, sanggup menerima lelaki yang bukan diriku di rumah kami sendiri. Betapa keterlaluan! Apa gunanya hubungan kami yang langgeng sampai limabelas tahun? Masa yang tidak cukup pendek, bukan?

Aku telah mengenal istri luar-dalam. Aku tahu dia perempuan setia. 

Jujur, aku memang lelaki yang jarang di rumah. Jarang di sini, bukan berarti aku senang dengan kehidupan di luaran. Tidak, sama sekali tidak! Pekerjaanlah yang menuntutku berbuat demikian. 

Aku bekerja di perusahaan kontraktor yang katakanlah memiliki lokasi proyek di pedalaman. Hidupku lebih lama di lokasi kerja ketimbang di rumah. Tiga minggu di sana, seminggu di rumah. Ya, ya. Hanya saja aku memahami ketakutan ibu. Dulu, selama aku sering keluar kota, anak-istriku memang berada di bawah pengawasan ibu dan ayah. Pastilah tak ada yang neko-neko dan mengkhawatirkan terjadi pada mereka. Masalah orang ketiga---kata ibu kucing garong---pun mustahil. Apa mungkin ada lelaki yang berani bertandang ke rumah orangtuaku kalau tujuannya demi merebut hati seorang Irene? Irene benar-benar berhati dingin-beku. Dia hanya menyerahkan hati itu kepadaku, sang kekasih yang ditunggunya selama berbilang malam dengan doa-doa keselamatan. Itu yang sering dikatakannya kepadaku ketika kami berdua di atas peraduan sambil menikmati saksefon Kenny G yang menyeruak dari tape berdouble subwoofer.

"Kau dengar kata ibu?" Dia kelihatan kurang senang. Kucium punggung tangan ibu. Kalau tak buru-buru memutus perbincangan dengannya, bisa-bisa telingaku pekak dan hatiku risau. Belum lagi harus terlambat, lalu ditinggal bus yang menuju ke lokasi proyek tempatku bekerja. Pagi tadi Sam, sopir kantor, meneleponku. Dia bilang mobil kantor rusak berat, sedang berdandan, jadi dia menyarankan agar aku naik bus saja. 

Irene keluar dari dalam kamar sambil mengangsurkan tas jinjing. Dia mewanti-wanti supaya hati-hati di jalan. Jangan lupa mengawasi tas jinjing itu kalau-kalau diintip orang. Waspada terhadap labtob yang kusandang. Aku meyakinkannya bahwa benda "selingkuhanku" itu tak mungkin kutelantarkan, Obat-obatan, jaga kesehatan, jangan lupa bertelepon ketika sedang berkunjung ke ibukota kabupaten daerah pedalaman itu. Bla...bla...bla.... Dia nyaris mirip ibu, suka mengoceh. Persis lokomotif kereta api. Kesal? Ya, tentu saja. Kenapa sih perempuan senang mengoceh? Apakah sudah takdir mereka demikian? Begitupun, apa yang mereka katakan adalah demi kebaikanku sendiri.

"Ingat kucing garong, Ni! Ibu pulang nanti sore!" teriak ibu saat aku dan Irene berada di teras rumah. Irene mengernyit. Dia tak faham kata-kata ibu. Syakwasangkanya, pasti itu sindiran terhadap dirinya. Dan itu harus kumaklumi. Irene dan ibu memang kurang kompak usai kami pindahan rumah. Menurut perempuan yang susah-payah melahirkan dan membesarkanku itu, acara pindah rumah terjadi hanyalah ide Irene. Menurut ibu, Irene tak betah lagi dijadikan mirip babu di rumah mereka. Padahal bukan seperti itu kenyataannya. Sebetulnya bukan istriku yang ngebet pindah rumah, melainkan aku. Istriku malahan  ragu apakah aku sanggup membiayai seluruh kebutuhan mereka anak-beranak. Selama tinggal di rumah ayah-ibu saja aku keteter, konon lagi setelah memisahkan diri.

"Tapi aku ingin mandiri dan lepas dari tatapan orang-orang yang seperti mengejek. Apa gunanya berumahtangga bila tetap mendekam di rumah orangtua! Itu sama saja masih bujangan! Masih berharap belas-kasih mereka yang telah menyadap keringat untuk membesarkanku sampai dewasa. Dewasa bersikap dan berpikir. Bukankah aku juga harus dewasa masalah keluargaku? Itulah, aku sangat ingin tinggal di rumah milik  diri sendiri, mengatur keluarga sesuai hati nuraniku." Hal tersebut kuucapkan kepada Irene hampir sepuluh hari sebelum kami pindah rumah.

* * *

Di atas sebuah jeep tanpa kabin, aku terkantuk-kantuk melalui jalanan berlobang menuju mess di pedalaman. Seorang-dua warga melambai. Mereka hanya mengenakan celana pendek. Dan dada yang lepas menantang matahari. Aku balas melambai. Mereka baru pulang berburu. 

"Bagaimana keluarga?" Soib, sopir yang merupakan warga pedalaman, mencoba beramah-tamah denganku. Dia baru satu setengah bulan bekerja lepas di perusahaan kontraktor tempatku bekerja. Dulu dia anak kapal yang menjambangi hampir seluruh pelosok Indonesia. Tapi saat kapal itu tenggelam, dan hampir seluruh awaknya---kecuali dia---mati tenggelam, dia menjadi trauma. Dia pulang ke pedalaman, bekerja seperti warga lain; menjadi pemburu. Beruntung perusahaan kontraktor tempatku bekerja itu, mendapat proyek untuk waktu satu setengah sampai dua tahun di sini. Jadi, dia melamar sebagai sopir. Dia diterima. Bukan hanya karena kemahirannya memainkan kemudi tentu, tapi cara berpikirnya sudah lebih maju dibandingkan warga pedalaman lainnya.

"Mereka baik-baik saja." Aku tersenyum. Sebuah warung kami lintasi. Hatiku bergetar. Wajah seorang gadis mengapung di anganku. Duh, sebenarnya aku telah mencoba membunuh perasaan tak benar ini. Aku telah memiliki Irene, dan seorang anak yang belajar cerdas. Kenapa harus memikirkan perempuan itu? Bukankah kecantikan Irene melebihi dia? Tapi, Tuhan. Apakah seperti ini yang selalu dihadapi para lelaki yang jauh dari istri?

Lain, lain sekali. Irene memang cantik, tapi bentuk tubuhnya sama saja seperti kebanyakan perempuan kota. Meski menggairahkan, namun berkesan lembek dan kurang liar. Berbeda dengan gadis itu, kerlingan matanya saja tajam menggoda. Tubuhnya berisi, liat, karena ditempa kerasnya hidup di pedalaman. Aku sudah sering membayangkan bagaimana suatu waktu kami 'melakukannya' di semak-semak. Uh, setan apa yang mengotori isi kepalamu Sahwani? Aku membuang napas yang menyesak dada. Jelas sekali aku bernafsu, sehingga pelan aku menangkap senyum menggoda dari wajah Soib. Dia memarkirkan jeep tiba-tiba.

"Kenapa?" tanyaku. Aku berpikir ada masalah dengan jeep itu.

"Apa kita ke warung Palupi dulu?" Dia bertanya. Palupi adalah gadis yang selalu menggerayangi hari-hariku belakangan ini. Bahkan saat bersama Irene. Lebih jauh dia juga tak segan muncul saat aku 'melakukannya' berdua Irene di atas kasur kami. Ah, betapa berdosanya aku! Saat tubuhku memeluk Irene, alam bawah sadarku hanya membayangkan Palupi. Setan juga Soib! Dia pelaku utama masalah ini. Kalau saja dia tak mengajakku beberapa minggu lalu singgah di warung itu, aku tak perlu mengenal Palupi. Kalau tak mengenal Palupi, aku tak harus merindukannya. Tapi jujur, suatu kali aku telah mengajak gadis itu berjalan-jalan naik jeep. Hanya berdua. Di saat sunyi mencekam menjelang petang di antara rerimbun jati, aku mengecup wangi rambutnya. Bibirnya. Setan alas! Seharusnya aku harus waspada terhadap kucing garong yang merasuki jiwa dan ragaku. Bukan malahan berhati-hati terhadap istri, bila sewaktu-waktu dia terjebak atau malahan memasukkan kucing garong ke dalam rumah kami. 

"Ah, kau ingin menambah masalah saja!" Aku mencoba menggerak-gerakkan pinggang yang kelu.

"Aku tahu bapak merindukannya. Sudah seminggu bapak tak bersua dia. Palupi pasti kangen." Dia tertawa. Bangsat satu ini semakin berani mengaduk-aduk hatiku. Padahal dia anak buahku. Tapi untuk apa kesal? 

Jeep memutar arah. Kemudian berhenti di depan warung. Bahren, bapak Palupi muncul. Dia menjabat erat tanganku. Menanyakan kabarku. Kemudian dia meneriakkan nama Palupi dan kopi. Maksudnya, dia menyuruh Palupi menyediakan secangkir kopi untukku. Selanjutnya dapat ditebak. Aku mengobrol panjang-lebar dengan gadis yang sesekali tersipu itu. Soib masuk kedalam warung. Dia mau mijit katanya. Ibu Palupi memang tukang urut. Tapi kutahu Soib hanya mengobrol dengan perempuan itu di dalam warung. Dia hanya ingin membebaskanku bekreasi bersama Palupi. Sementara Bahren cepat tanggap juga. Dia menyusul Soib. Tak apa-apa, pengunjung warung yang sedang mengopi hanya ada aku. Warung masih sepi. Warung baru ramai petang hari sampai malam benar-benar gelap-mengkal. Bahren menjual tuak aren juga, untuk pembeli yang ingin menghangatkan badan, agar tak kalah oleh gigitan angin.

* * *

Di sebuah warung telekomunikasi di sebuah kota kecil, aku menelepon ibu. Kutanyakan kabar Irene dan anakku, "Bagaimana kabar mereka, Bu? Aku hanya ingin mencari tahu apakah ada kucing garong yang memasuki rumah kami?"

"Ada, Sahwani? Tersebar gosip bahwa Lintar, seorang tetangga dan bekas teman sekolah Irene, sering berkunjung ke rumahmu. Bahkan dia selalu membawa oleh-oleh mainan untuk anakmu. Begitu kabar yang ibu dengar. Jadi, pulanglah! Bunuhlah kucing garong itu sebelum merusak rumahtanggamu!"

Aku seperti tersambar petir. Emosiku memuncak. Setelah menutup horn telepon, kutekan nomor ponsel Irene. Terdengar jeritan senang darinya. Dia menanyakan kabarku apakah baik-baik saja. Sontoloyo! Tipu-muslihat!

"Kamu sendirian di rumah?" tanyaku.

"Tidak!"

"Bersama siapa?"

"Igor! Kau lupa ya, hari ini Minggu? Anak kita kan libur sekolah!"

"Oh!"

Tiba-tiba tanpa ragu mulutku langsung menanyakan Lintar. Irene terdiam sesaat. Kemudian tertawa terbahak-bahak. Dia mengira aku cemburu. Padahal aku benar-benar cemburu. Dia mengatakan Lintar adalah tukang ojek langganan anak kami. Dia baik. Dia memang sering menemani Igor di rumah, setengah sampai satu jam usai pulang sekolah. "Mereka sering bermain bola di halaman depan!"

Hatiku tersayat. Seharusnya aku yang bermain bola dengan anakku. Bukan bangsat itu.

"Dia sering membawakan mainan untuk Igor, ya?" Pasti nada suaraku semakin jelas menandakan cemburu yang hebat.

"Hahaha! Dia memang kreatif, Mas. Sering juga dia membawa mainan. Tapi tak mahal. Mainan itu dibuatnya dari barang bekas. Nanti kalau kau pulang, akan kutunjukkan. Hampir satu dus mie instan di bawah dipan Igor."

"Sudah! Tak usah lagi dia menjadi tukang ojek anak kita," geramku. "Apa kata orang. Suami tak ada, istri memasukkan orang lain ke rumah."

"Lho! Sampai sejauh ini rasa cemburumu, Mas? Sudahlah! Jangan terlalu didramatisir. Tapi kalau memang kau ingin dia diberhentikan, ya terserah! Berarti aku harus mengantar-jemput Igor dengan motormu, Mas!"

Aku ragu. Aku cemas. Irene tak mahir bermotor. Itu sama saja membuat mereka celaka. Ya, sudahlah! Aku harus percaya tak mungkin Irene membiarkan kucing garong masuk ke rumah kami. Dia istri setia seperti yang kukenal selama ini.

"Ya, sudah! Kau tak perlu memberhentikannya. Aku takut kalian celaka. Kau kan belum mahir mengendarai motor! Tapi kuharap kau menjaga keutuhan cinta kita, ya!"

"Percayalah akan kesetiaanku, Mas!" 

Klik! 

Seiring ditutupnya ponsel, sebuah ketokan di kaca box telepon mengejutkanku. Seraut wajah Palupi yang cemas membuatku tak nyaman. Aku keluar dari box telepon sambil tersenyum. Senyuman yang ragu-ragu.

"Bagaimana hasil pemeriksaan dokter itu?"

"Positif, Mas! Bagaimana ini?" 

Aku tersentak. Petir seakan berbunyi di siang bolong. Kurasakan seekor kucing garong telah memakan sebelah hatiku.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun