Di sebuah warung telekomunikasi di sebuah kota kecil, aku menelepon ibu. Kutanyakan kabar Irene dan anakku, "Bagaimana kabar mereka, Bu? Aku hanya ingin mencari tahu apakah ada kucing garong yang memasuki rumah kami?"
"Ada, Sahwani? Tersebar gosip bahwa Lintar, seorang tetangga dan bekas teman sekolah Irene, sering berkunjung ke rumahmu. Bahkan dia selalu membawa oleh-oleh mainan untuk anakmu. Begitu kabar yang ibu dengar. Jadi, pulanglah! Bunuhlah kucing garong itu sebelum merusak rumahtanggamu!"
Aku seperti tersambar petir. Emosiku memuncak. Setelah menutup horn telepon, kutekan nomor ponsel Irene. Terdengar jeritan senang darinya. Dia menanyakan kabarku apakah baik-baik saja. Sontoloyo! Tipu-muslihat!
"Kamu sendirian di rumah?" tanyaku.
"Tidak!"
"Bersama siapa?"
"Igor! Kau lupa ya, hari ini Minggu? Anak kita kan libur sekolah!"
"Oh!"
Tiba-tiba tanpa ragu mulutku langsung menanyakan Lintar. Irene terdiam sesaat. Kemudian tertawa terbahak-bahak. Dia mengira aku cemburu. Padahal aku benar-benar cemburu. Dia mengatakan Lintar adalah tukang ojek langganan anak kami. Dia baik. Dia memang sering menemani Igor di rumah, setengah sampai satu jam usai pulang sekolah. "Mereka sering bermain bola di halaman depan!"
Hatiku tersayat. Seharusnya aku yang bermain bola dengan anakku. Bukan bangsat itu.
"Dia sering membawakan mainan untuk Igor, ya?" Pasti nada suaraku semakin jelas menandakan cemburu yang hebat.