Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kucing Garong

24 April 2019   08:05 Diperbarui: 24 April 2019   08:09 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi :.pixabay

* * *

Di atas sebuah jeep tanpa kabin, aku terkantuk-kantuk melalui jalanan berlobang menuju mess di pedalaman. Seorang-dua warga melambai. Mereka hanya mengenakan celana pendek. Dan dada yang lepas menantang matahari. Aku balas melambai. Mereka baru pulang berburu. 

"Bagaimana keluarga?" Soib, sopir yang merupakan warga pedalaman, mencoba beramah-tamah denganku. Dia baru satu setengah bulan bekerja lepas di perusahaan kontraktor tempatku bekerja. Dulu dia anak kapal yang menjambangi hampir seluruh pelosok Indonesia. Tapi saat kapal itu tenggelam, dan hampir seluruh awaknya---kecuali dia---mati tenggelam, dia menjadi trauma. Dia pulang ke pedalaman, bekerja seperti warga lain; menjadi pemburu. Beruntung perusahaan kontraktor tempatku bekerja itu, mendapat proyek untuk waktu satu setengah sampai dua tahun di sini. Jadi, dia melamar sebagai sopir. Dia diterima. Bukan hanya karena kemahirannya memainkan kemudi tentu, tapi cara berpikirnya sudah lebih maju dibandingkan warga pedalaman lainnya.

"Mereka baik-baik saja." Aku tersenyum. Sebuah warung kami lintasi. Hatiku bergetar. Wajah seorang gadis mengapung di anganku. Duh, sebenarnya aku telah mencoba membunuh perasaan tak benar ini. Aku telah memiliki Irene, dan seorang anak yang belajar cerdas. Kenapa harus memikirkan perempuan itu? Bukankah kecantikan Irene melebihi dia? Tapi, Tuhan. Apakah seperti ini yang selalu dihadapi para lelaki yang jauh dari istri?

Lain, lain sekali. Irene memang cantik, tapi bentuk tubuhnya sama saja seperti kebanyakan perempuan kota. Meski menggairahkan, namun berkesan lembek dan kurang liar. Berbeda dengan gadis itu, kerlingan matanya saja tajam menggoda. Tubuhnya berisi, liat, karena ditempa kerasnya hidup di pedalaman. Aku sudah sering membayangkan bagaimana suatu waktu kami 'melakukannya' di semak-semak. Uh, setan apa yang mengotori isi kepalamu Sahwani? Aku membuang napas yang menyesak dada. Jelas sekali aku bernafsu, sehingga pelan aku menangkap senyum menggoda dari wajah Soib. Dia memarkirkan jeep tiba-tiba.

"Kenapa?" tanyaku. Aku berpikir ada masalah dengan jeep itu.

"Apa kita ke warung Palupi dulu?" Dia bertanya. Palupi adalah gadis yang selalu menggerayangi hari-hariku belakangan ini. Bahkan saat bersama Irene. Lebih jauh dia juga tak segan muncul saat aku 'melakukannya' berdua Irene di atas kasur kami. Ah, betapa berdosanya aku! Saat tubuhku memeluk Irene, alam bawah sadarku hanya membayangkan Palupi. Setan juga Soib! Dia pelaku utama masalah ini. Kalau saja dia tak mengajakku beberapa minggu lalu singgah di warung itu, aku tak perlu mengenal Palupi. Kalau tak mengenal Palupi, aku tak harus merindukannya. Tapi jujur, suatu kali aku telah mengajak gadis itu berjalan-jalan naik jeep. Hanya berdua. Di saat sunyi mencekam menjelang petang di antara rerimbun jati, aku mengecup wangi rambutnya. Bibirnya. Setan alas! Seharusnya aku harus waspada terhadap kucing garong yang merasuki jiwa dan ragaku. Bukan malahan berhati-hati terhadap istri, bila sewaktu-waktu dia terjebak atau malahan memasukkan kucing garong ke dalam rumah kami. 

"Ah, kau ingin menambah masalah saja!" Aku mencoba menggerak-gerakkan pinggang yang kelu.

"Aku tahu bapak merindukannya. Sudah seminggu bapak tak bersua dia. Palupi pasti kangen." Dia tertawa. Bangsat satu ini semakin berani mengaduk-aduk hatiku. Padahal dia anak buahku. Tapi untuk apa kesal? 

Jeep memutar arah. Kemudian berhenti di depan warung. Bahren, bapak Palupi muncul. Dia menjabat erat tanganku. Menanyakan kabarku. Kemudian dia meneriakkan nama Palupi dan kopi. Maksudnya, dia menyuruh Palupi menyediakan secangkir kopi untukku. Selanjutnya dapat ditebak. Aku mengobrol panjang-lebar dengan gadis yang sesekali tersipu itu. Soib masuk kedalam warung. Dia mau mijit katanya. Ibu Palupi memang tukang urut. Tapi kutahu Soib hanya mengobrol dengan perempuan itu di dalam warung. Dia hanya ingin membebaskanku bekreasi bersama Palupi. Sementara Bahren cepat tanggap juga. Dia menyusul Soib. Tak apa-apa, pengunjung warung yang sedang mengopi hanya ada aku. Warung masih sepi. Warung baru ramai petang hari sampai malam benar-benar gelap-mengkal. Bahren menjual tuak aren juga, untuk pembeli yang ingin menghangatkan badan, agar tak kalah oleh gigitan angin.

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun