Ayah menjadi lebih sering menemaniku dan Maimunah. Dia sengaja menempatkan kami berdua di sebuah villla yang menyempil di dekat bukit. Persis di ujung peternakan, di mana akan mudah ditemukan bunga-bunga hutan berbau wangi.
Ternyata niat baik ayah tak seperti apa yang tersirat di hatinya. Ketika sekali waktu aku harus mengurusi kuda-kuda yang tiba-tiba beringas, ayah malahan bermasyuk ria dengan Maimunah. Kabar itu kudapat dari Pak Ramlan. Dan aku pun berhasil memergoki mereka, ketika buru-buru mengenakan pakaian.
Aku marah besar, Aku perang mulut dengan ayah. Kukatakan bahwa aku mencintai Maimunah. Bahkan berniat memperistrinya. Sayang ayah tak menyetujui niat itu. Bukan karena Maimunah pelacur. Bukan karena dia tak menyintaiku juga. Melainkan ayah berkeinginan menjadikannya istri kedua setelah ibuku.
"Tak bisa begitu, Yah. Untuk apa menikah lagi? Umur ayah sudah tak pantas lagi buat menikah. Kalau sekedar ingin bermain-main dengan perempuan pasaran, aku tak akan melarang. Aku tak membocorkannya kepada ibu. Asal jangan dengan Maimunah," tekanku.
Dapat ditebak kejadian selanjutnya. Ayah marah besar. Senapan tua untuk berburu, yang biasa disimpan di lemari, langsung diambilnya. Moncongnya diarahkan tepat di dadaku.Â
Akhirnya permusuhan ditabuh. Segera kutinggalkan peternakan, setelah ayah mengancam akan terus mematai-mataiku melalui jasa Lailam; preman pasar yang sebelumnya pernah merayu Maimunah, tapi belum sempat menyecap madunya.
* * *
Aku tersentak tatkala Pak Ramlan meletakkan secangkir kopi di hadapanku. Dia menggeleng-geleng, lalu meletakkan makanan di sebelah secangkir kopi itu; beberapa potongan ubi yang dibakar. Masih mengebul dan berbau natural.
"Kabar Maimunah bagaimana, Pak?" Aku menyeruput kopi, sambil mataku tak lepas mengawasi lelaki yang kelihatan selalu lelah terbungkuk-bungkuk itu.Â
"Dia sudah menikah dengan Tuan." Dia duduk menemamiku. Tangannya liar mempermainkan potongan ubi bakar.Â
Aku tercekat. "Menikah?"