Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cincin

20 April 2019   07:33 Diperbarui: 20 April 2019   07:51 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tatkala melintasi di Jalan Kepodang, aku teringat cincin itu. Hmm, beruntung dia telah kukantongi.

Tiba-tiba ada dorongan kuat di hati ini ingin mengenakannya. Siapa tahu aku akan lebih keren dan berwibawa. Bisa-bisa dianggap lebih makmur hidupnya, setelah hampir separuh umurku, aku tak pernah menyecap apa sebenarnya makmur itu. Barangkali sebentuk makanan, minuman, atau hanya sampah.

Anehnya, aku menjadi nyaman mengenakannya. Ada perubahan drastis di dalam tubuh ini. Aku sekarang benar-benar merasa seperti orang kaya. Sangat kaya. Sepeda motor yang belum lunas kreditannya itu, berubah butut. Seperti rongsokan di mataku

Mendadak pula aku sudah melangkah ke tempat yang jauh. Melewati rumpun-rumpun mawar. Melintasi jalan kecil yang di kiri-kanannya dirimbun pohon cemara, pohon akasia beraroma basah. Rintik-rintik hujan mengirim kesejukan. Memberi warna lain di langit. Sebentuk pelangi yang ujungnya hinggap di sebuah telaga. Sedangkan ujung lain entah mematuk di mana.

"Baru tiba, Dedek?" Seseorang bertubuh bungkuk langsung menyambutku. Tangannya dingin meremas jemariku. Dia tertawa. Punuk yang menonjol di punggungnya berguncang-guncang. 

Aku seolah langsung mengenalinya. Aku tahu namanya. Aku merasa sudah sangat sering bertemu dia. "Apa kabar, Pak Ramlan? Bagaimana peternakan kita? Baik-baik saja?" Kuikuti langkahnya yang cepat memutari sebuah telaga. Lalu kami menuruni bukit berumput. 

Suara ringkikan kuda malang-melintang menyambut. Kulihat padang rumput membentang sejauh mata memandang. Di ujung sana ada atap-atap rumah penduduk. Pohon-pohon serupa batangan korek api. Hampir limapuluh meter di hadapan kami, kuda-kuda tengah bergerombol.

"Kemarin Lailam ke mari. Dia menanyakanmu. Tapi kukatakan hampir lima bulan kau tak kemari. Ya, setelah pertengkaranmu dengan Tuan, karena...." Dia menggantung ucapan. Dia tak ingin mengungkit-ungkit kenangan yang pasti melecut emosiku.

Selintas kenangan itu melintas seperti fim layar lebar di kepalaku. Aku ingat Maimunah. Perempuan yang ganjen karena tuntutan profesi. Dia seorang pelacur. Tapi menurutku pelacur kratonan. Hahaha. 

Dia memang bukan seperti pelacur kebanyakan yang kutemukan berjubel di sudut-sudut kota, di ruang-ruang berlampu suram. Di antara hentakan musik, juga aroma alkohol. Dia lain. Dia beda. Dia berkelas. Senang memilih-milih pasangan, dan aku menyintainya.

Maimunah membuatku kagum, sehingga telah kutekadkan akan memperistri, sekaligus menariknya dari dunia hitam. Namun ayah, yang dipanggil oleh Pak Ramlan dengan sebutan "Tuan",  ternyata jatuh hati juga kepada perempuan itu, saat pertama kali dia kubawa bertandang ke peternakan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun