Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cincin

20 April 2019   07:33 Diperbarui: 20 April 2019   07:51 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Benda berkilauan di pelataran parkir itu, membuatku menghentikan langkah. Segera kukantongkan kunci sepeda motor, lalu menunduk, melihat lebih dekat benda bekilauan berbentuk bulat itu. Sebuah cincin? Batinku. Aku berjongkok. Meraih sambil memerhatikannya serius. Sepertinya cincin itu terbuat dari emas. 

Pada bagian dalamnya tertulis nama Dedek. Mungkin perempuan. Bisa jadi lelaki. Tak perlu dipusingkanlah. Karena sekarang yang harus dilakukan adalah cepat pulang ke rumah. Makan siang, istirahat sebentar,  dan kembali melanjutkan mengetik novel sastra yang baru selesai duapuluh persen. 

Perkara cincin itu, biarlah dikantongi dulu. Anggaplah dia kumiliki sementara. Karena untuk mengembalikannya kepada si empunya, amat mustahil. Siapa saja bisa mengakui kalau cincin itu miliknya. Berbeda bila yang kutemukan sebuah dompet. Paling tidak di dalamnya ada kartu tanda penduduk, atau nomor telepon. Tentu lebih mudah mendapatkan pemilik sebenarnya.

* * *

"Cincin siapa ini?" tanya istri curiga, ketika dia menggantungkan celana panjangku di paku di belakang pintu. Seperti biasa, dia memang rutin memeriksa isi dompet serta seluruh kantong pakaianku. Ini adalah konsekuensi yang harus diterima, setelah setahun lalu dia menemukan surat cinta dari Mira di lipatan dompetku.

"Kutemukan di pelataran parkir bank," jawabku sambil menyuapkan potongan tahu ke mulut. Segelas kopi menjadi pendorongnya, sehingga perutku yang keroncongan menjadi hangat. Di meja makan baru ada bebebrapa potong benda putih yang lembek itu. Hanya tahu dan tahu, karena istriku baru selesai menggosip di tetangga sebelah. Alhasil urusan rumahtangga, juga perut suami tak dipikirkan.

Cincin itu diletakkannnya di meja. Aku meraihnya. Menatapnya sekilas.

"Tak usah lagi berbohong, Pak. Pasti itu cincin salah seorang pacar barumu. Namanya Dedek, bukan? Pasti dia lebih cantik dariku. Lebih bahenol, sehingga membuat matamu hijau. Ingat, Pak. Hidup kita dari tumpukan karya novelmu, sudah senin-kamis. Jangan kau tambahi dengan perempuan-perempuan selingkuhan."

"Aku tak berbohong, Bu." Musnah sudah niat melanjutkan mengetik novel sastra itu. Kalau sudah bersitegang dengan istri, otomatis aku down. Imajinasiku menjadi tak karuan. Maka lebih baik aku keluar, menggeber sepeda motor keliling kota. Atau, mungkin aku bertandang ke rumah Latief. Mudah-mudahan wajahnya yang lugu kampung itu, mampu memetakan imajinasi demi imajinasi dengan amat baik bagiku.

"Ke mana lagi, Pak?"

"Jalan-jalan menyari ilham," gerutuku seraya menggeber sepeda motor. Suara istri langsung hilang ditelannya.

Tatkala melintasi di Jalan Kepodang, aku teringat cincin itu. Hmm, beruntung dia telah kukantongi.

Tiba-tiba ada dorongan kuat di hati ini ingin mengenakannya. Siapa tahu aku akan lebih keren dan berwibawa. Bisa-bisa dianggap lebih makmur hidupnya, setelah hampir separuh umurku, aku tak pernah menyecap apa sebenarnya makmur itu. Barangkali sebentuk makanan, minuman, atau hanya sampah.

Anehnya, aku menjadi nyaman mengenakannya. Ada perubahan drastis di dalam tubuh ini. Aku sekarang benar-benar merasa seperti orang kaya. Sangat kaya. Sepeda motor yang belum lunas kreditannya itu, berubah butut. Seperti rongsokan di mataku

Mendadak pula aku sudah melangkah ke tempat yang jauh. Melewati rumpun-rumpun mawar. Melintasi jalan kecil yang di kiri-kanannya dirimbun pohon cemara, pohon akasia beraroma basah. Rintik-rintik hujan mengirim kesejukan. Memberi warna lain di langit. Sebentuk pelangi yang ujungnya hinggap di sebuah telaga. Sedangkan ujung lain entah mematuk di mana.

"Baru tiba, Dedek?" Seseorang bertubuh bungkuk langsung menyambutku. Tangannya dingin meremas jemariku. Dia tertawa. Punuk yang menonjol di punggungnya berguncang-guncang. 

Aku seolah langsung mengenalinya. Aku tahu namanya. Aku merasa sudah sangat sering bertemu dia. "Apa kabar, Pak Ramlan? Bagaimana peternakan kita? Baik-baik saja?" Kuikuti langkahnya yang cepat memutari sebuah telaga. Lalu kami menuruni bukit berumput. 

Suara ringkikan kuda malang-melintang menyambut. Kulihat padang rumput membentang sejauh mata memandang. Di ujung sana ada atap-atap rumah penduduk. Pohon-pohon serupa batangan korek api. Hampir limapuluh meter di hadapan kami, kuda-kuda tengah bergerombol.

"Kemarin Lailam ke mari. Dia menanyakanmu. Tapi kukatakan hampir lima bulan kau tak kemari. Ya, setelah pertengkaranmu dengan Tuan, karena...." Dia menggantung ucapan. Dia tak ingin mengungkit-ungkit kenangan yang pasti melecut emosiku.

Selintas kenangan itu melintas seperti fim layar lebar di kepalaku. Aku ingat Maimunah. Perempuan yang ganjen karena tuntutan profesi. Dia seorang pelacur. Tapi menurutku pelacur kratonan. Hahaha. 

Dia memang bukan seperti pelacur kebanyakan yang kutemukan berjubel di sudut-sudut kota, di ruang-ruang berlampu suram. Di antara hentakan musik, juga aroma alkohol. Dia lain. Dia beda. Dia berkelas. Senang memilih-milih pasangan, dan aku menyintainya.

Maimunah membuatku kagum, sehingga telah kutekadkan akan memperistri, sekaligus menariknya dari dunia hitam. Namun ayah, yang dipanggil oleh Pak Ramlan dengan sebutan "Tuan",  ternyata jatuh hati juga kepada perempuan itu, saat pertama kali dia kubawa bertandang ke peternakan kami.

Ayah menjadi lebih sering menemaniku dan Maimunah. Dia sengaja menempatkan kami berdua di sebuah villla yang menyempil di dekat bukit. Persis di ujung peternakan, di mana akan mudah ditemukan bunga-bunga hutan berbau wangi.

Ternyata niat baik ayah tak seperti apa yang tersirat di hatinya. Ketika sekali waktu aku harus mengurusi kuda-kuda yang tiba-tiba beringas, ayah malahan bermasyuk ria dengan Maimunah. Kabar itu kudapat dari Pak Ramlan. Dan aku pun berhasil memergoki mereka, ketika buru-buru mengenakan pakaian.

Aku marah besar, Aku perang mulut dengan ayah. Kukatakan bahwa aku mencintai Maimunah. Bahkan berniat memperistrinya. Sayang ayah tak menyetujui niat itu. Bukan karena Maimunah pelacur. Bukan karena dia tak menyintaiku juga. Melainkan ayah berkeinginan menjadikannya istri kedua setelah ibuku.

"Tak bisa begitu, Yah. Untuk apa menikah lagi? Umur ayah sudah tak pantas lagi buat menikah. Kalau sekedar ingin bermain-main dengan perempuan pasaran, aku tak akan melarang. Aku tak membocorkannya kepada ibu. Asal jangan dengan Maimunah," tekanku.

Dapat ditebak kejadian selanjutnya. Ayah marah besar. Senapan tua untuk berburu, yang biasa disimpan di lemari, langsung diambilnya. Moncongnya diarahkan tepat di dadaku. 

Akhirnya permusuhan ditabuh. Segera kutinggalkan peternakan, setelah ayah mengancam akan terus mematai-mataiku melalui jasa Lailam; preman pasar yang sebelumnya pernah merayu Maimunah, tapi belum sempat menyecap madunya.

* * *

Aku tersentak tatkala Pak Ramlan meletakkan secangkir kopi di hadapanku. Dia menggeleng-geleng, lalu meletakkan makanan di sebelah secangkir kopi itu; beberapa potongan ubi yang dibakar. Masih mengebul dan berbau natural.

"Kabar Maimunah bagaimana, Pak?" Aku menyeruput kopi, sambil mataku tak lepas mengawasi lelaki yang kelihatan selalu lelah terbungkuk-bungkuk itu. 

"Dia sudah menikah dengan Tuan." Dia duduk menemamiku. Tangannya liar mempermainkan potongan ubi bakar. 

Aku tercekat. "Menikah?"

Pak Ramlan mengangguk. Langsung saja kuletakkan cangkir kopi di tanah. Kuraih topi pet yang tergantung di ujung lemari. Pak Ramlan menyoba menahan langkahku. Namun aku tak perduli. Meskipun ayah telah mengatakan berniat menikahi Maimunah lima bulan lalu, tapi menurutku itu hanya isapan jempolan. 

Secantik apakah dia, sehingga ayah nekat memperistrinya? Bukankah telah lebih sepuluh kali aku memergoki ayah mengeloni pelacur, yang rata-rata lebih cantik dan bahenol ketimbang Maimunah. Sepertinya aku tak menerima kenyataan ini.

Kudatangi rumah induk, di mana banyak buruh pengurus kuda-kuda sedang istirahat. Di teras rumah selintas terlihat bayangan Maimunah sedang melayani ayahku. Darah ini seketika menggelegak. Kupegang sepucuk pistol yang terselip di balik pinggang celana panjang.

"Ayah....." teriakku geram.

Ayahku seperti terpental ke lantai. Maimunah menjerit. Kejadian yang sangat cepat. Aku refleks menembak ayah sambil berteriak. Suasana gaduh. Buruh-buruh merubung. Sebagian menyekal lenganku. Sebagian memilih bergerombol dan memuji keberanianku menembak ayah. Sebab ayah adalah majikan yang otoriter. Terhadap para penjilat, dia sangat baik. Terhadap para pembangkang, dia bagaikan singa kelaparan.

Dalam keadaan teringkus, mata tertutup kain hitam, aku dibawa jauh dari peternakan. Kurasakan tubuh ini dibantingkan ke sebuah lantai besi. Kemudian terdengar derum mobil. Dari situlah aku sadar telah dimasukkan ke dalam  bak truk, dan akan dibawa jauh. 

Salah seorang yang mengawalku mengatakan mobil akan dijatuhkan ke jurang. Aku dibiarkan sendirian meregang nyawa, meninggalkan dunia yang penuh nista. 

Aku ketakutan. Aku berteriak. Berontak. Tiba-tiba seseorang merampas cincin di jemariku sambil tertawa.

* * *

Sekonyong aku tersadar masih berada di atas sepeda motor yang melaju sedang. Aku terkejut. Kulihat cincin bertuliskan Dedek di bagian dalamnya itu tak melingkar lagi di jemariku. 

Setiba di rumah Latief,  barulah perasaan bingungku sedikit reda. Tapi tetap saja tak bisa ditebak apa yang sebenarnya telah terjadi padaku. Tentang cincin, Dedek, Pak Ramlan, Tuan dan, ah.... 

Latief menyambutku di ambang pintu. "Dedek....?" 

Dedek? Bukankah namaku Rahmat Kawitang?

---sekian---

Palembang, 05 Desember 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun