"Kenapa, Nduk? Kau sedang jatuh cinta?"Â
Sekar tersentak. Buru-buru dia menatap mata Mak Birah. Sekar yakin akan menemukan warna kekecewan di mata tua itu. Tapi ternyata dia salah. Mata itu terlihat menyenangkan. Bercahaya. Berbinar-binar.
"Tapi..."
"Kenapa? Kau takut jatuh cinta, Nduk? Takut menikah dan ditinggal  pergi lelaki?" Mak Birah membuang jauh-jauh kenangan pahit yang menimpanya. "Mak memang pernah dikecewakan lelaki. Tapi itu memang nasib yang harus Mak tanggung. Jatuh cinta itu lumrah. Menikah juga, bahkan keharusan. Kenapa harus takut, Nduk? Apa kamu takut Mak kecewa?" Mak Birah mengelus kepala Sekar. "Temukanlah cintamu, Nduk! Kau sudah matang dan memang sudah cocok menikah. Mak juga berhak meminta cucu darimu." Mak Birah tertawa. Sekar kegelian karena Mak Birah menggelitiki pinggangnya.
* * *
Sudah dua bulan Sekar berteman dekat dengan Wiryo. Di antara para bakul jamu bahkan buruh kebun, menganggapnya lumrah. Selumrah melihat Sekar memeluk pinggang Wiryo ketika membonceng di motor pinjaman perusahaan itu. Memang awal-awalnya ada juga perempuan yang cemburu, termasuk Nisah. Tapi lambat-laun semua kembali berjalan seperti sediakala.Â
"Bagaimana kalau kita menikah saja, Sekar?" Wiryo setengah menjerit mengimbangi deru mesin motor.
"Apa?" Sekar mempererat pelukannya di pinggang lelaki itu. Lobang di jalan yang licin selepas hujan, membuat Sekar takut.
"Kita menikah saja." Wiryo menelengkan kepala agar Sekar lebih jelas mendengar ucapannya. Sekar tersenyum geli, kemudian terperangah. Hampir saja motor mereka menabrak seorang lelaki tua pengangon bebek, kalau saja Wiryo tak cekatan membanting stir ke kiri. Lelaki tua itu hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum dengan wajah sedikit pias.
"Aduh, maaf, Pak!" ucap Wiryo. Lelaki tua itu berlalu mengejar bebek-bebeknya. "Telinga kamu ke mana, Sekar?"
"Ada! Ini masih nempel di kepala!" Sekar menyusul Wiryo turun dari atas motor. Selalu saja begitu. Kalau Wiryo mengerem mendadak, motor langsung ngambek alias mogok.