"Bagaimana?"
"Bagaimana apanya?" Sekar pura-pura tak faham.
"Kita menikah saja!"
"Menikah?" Sekar pura-pura merinding. Gemas, Wiryo mencubit pinggang Sekar.
"Iya! Kebetulan kita sudah sangat dekat. Lagi pula, Mak Birah kelihatannya senang-senang saja. Apalagi yang mesti ditunggu? Ayahku juga kebetulan sedang berada di sini. Baiknya kita meminta restu saja."
Sekar merasa gamang. Mendengar kata 'ayah' membuat nyalinya ciut. Sekar tahu dari cerita-cerita Wiryo, kalau ayahnya itu orang berada. Ayah Wiryo seorang pengusaha yang cukup terkenal di Jakarta. Apakah dia mau bermenantukan seorang gadis kampung dan bakul jamu? Apakah dia mau anaknya beristrikan seorang perempuan yang keluarganya turun-temurun sebagai bakul jamu? Sekar takut apa yang dialami Mak Birah, akan dialaminya juga.Â
"Kenapa, Sekar?" kejar Wiryo.
"Oh, tak apa-apa!" kilah Sekar.
"Kita bertemu ayah sekarang, ya?"
Anehnya, motor itu tak ngambek lagi. Sekar terpaksa membonceng dengan hati tak karuan. Â Dia cemas kalau-kalau ayah Wiryo akan bersikap tak ramah kepadanya. Bisa saja dia menghina Sekar sebagai bakul jamu. Menghina pekerjaan turun-temurun keluarga Sekar yang hanya bakul jamu itu. Ujung-ujungnya hubungan mereka tak direstui.
O, seandainya saja Wiryo tak datang ke kampung ini. Seandainya saja hanya Sekar yang jatuh cinta, Â bukan Wiryo. Seandainya saja Sekar hanya berpacaran dengan Kiplik, Murod, atau Zukhail yang rata-rata sepantaran taraf hidup dengan keluarga Sekar. O, siapa yang bisa merubah jalan hidupnya? Tak ada seorang pun yang mampu menggulingkan takdir!