Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekar

11 April 2019   13:09 Diperbarui: 11 April 2019   15:26 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: deviantart.com

Sekar bukannya benci kepada lelaki. Dia hanya tak mau terlalu dekat, bahkan menikah dengan mereka. Dia tak ingin senasib dengan Mak Birah, ibunya. Setelah menikah dengan seorang anak lurah dua puluh tiga tahun lalu, tanpa rasa kasihan, si anak lurah meninggalkan Mak Birah begitu saja. Persis ketika dia mengandung lima bulan. Itulah yang menyebabkan Sekar terlahir ke dunia tanpa kehadiran seorang ayah.  

Mak Birah pernah mengisahkan, minggatnya ayah Sekar hanyalah persoalan sepele. Orang tua ayah Sekar tak setuju anaknya itu menikah dengan orang melarat seperti Mak Birah. Hanya menurunkan derajat orang berpangkat seperti mereka. Bakul jamu, apa itu? Strata sosial kelas rendahan!

Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5caebee93ba7f75dc32bb5b2/nikah-pohon

Namun, kenapa setelah bertemu lelaki bermata cemerlang itu, Sekar seolah tak bisa mendustai hatinya? Sekar tak bisa lagi melulu berprinsip tetap melajang sampai tua. Sekar menjadi tak enak makan, tak nyenyak tidur. Kerjaannya pun lebih sering melamun. 

Meskipun berulangkali dia mencoba membunuh perasaan yang bergolak di dalam hati, setiap kali pula wajah lelaki itu mencuat. Bakul jamunya juga kerap bersisa setiap kali pulang ke rumah. Tak seperti dulu-dulu, sebelum bersitatap pertama kali dengan lelaki itu, bakul jamunya selalu ludes dengan pertanda suara botol-botol yang nyaring ketika saling beradu.

"Ayuh, Kar. Kok malah melamun terus?" Mak Birah menyadarkan Sekar. Matahari mulai meninggi membakar kulit kuning langsat Sekar. Pipinya memerah. Dia terlihat bertambah menarik. 

Mak Birah sudah siap dengan bakul jamu di punggung. Walaupun usianya hampir lima puluh lima tahun, dia tetap tak mau pensiun. Baginya, selama hayat di kandung badan, berpantang sekalipun berleha-leha. Hidup adalah perjuangan. 

Menjadi perempuan itu harus tegar. Meskipun ditinggal suami, Mak Birah tak cengeng. Hatinya memang menangis dan hancur ketika ditingal minggat suami. Tapi dia membuang kepahitan itu jauh-jauh. Dia tetap menjalani hidup sebagaimana biasa.

"Ayuh, Nduk! Jangan sampai matahari terlalu tinggi, lho! Mau daganganmu tak laku lagi?" Mak Birah mengingatkan. Sekar buru-buru menggendong bakul jamunya, mengikuti jejak ibunya menuju jalan besar.

* * *

"Itu lho, senyumnya itu. Bikin hatiku gimana, gitu!" Nisah tertawa cekikikan sambil merapikan botol jamu yang sudah kosong. "Kalau saja..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun