Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Cinta Itu Kandas

5 April 2019   21:39 Diperbarui: 5 April 2019   21:52 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh tahun lalu

Didik merengut. Kenapa sih pagi-pagi harus hujan? Kenapa  sih  harus Senin, bukan hari Minggu? Segala kesal berkelindan di kepala. Mana disuruh ibu membawa payung. Kan, malu jadinya! Masa' anak cowok membawa payung. Lihat, tuh, anak-anak yang berjubel di dalam angkutan kota, melihat geli ke arah Didik. Mungkin dalam hati mereka berkata, "Hii, anak cowok kok memakai payung. Cemeeen!"

Tapi setelah cewek manis itu datang, dan tiba-tiba merapat ke tubuhnya, Didik bersyukur. Dia lekas-lekas meminta ampun kepada Tuhan. Bagaimana pun, mau panas mau hujan, tetap ada sebagian makhluk bersyukur. 

Ternyata berkah itu jatuh kepada Didik. Nanti sore sepulang sekolah, dia bejanji mencium kaki ibunya. Kalau saja tadi menolak perintah ibunya, bagaimana mungkin dia bisa berdiri berdua cewek itu di pinggir jalan. Hidung Didik mengembang. Selain karena bahagia, dia juga ingin menghirup wangi shampo dari rambut cewek itu.

"Sedang menunggu angkot, ya?" tanya Weis, nama cewek itu. Rambutnya dihembuskan angin, menerpa wajah Didik. Didik hampir  terjauh menahan gemetar di lutut.

"Sudah tahu sedang menunggu angkot, nanya!" Didik pura-pura marah.

"Ye, orang ditanya, marah-marah." Weis cemberut.

"Nah, itu yang aku mau. Kalau kau cemberut, tambah manis, deh."

Weis memukul pundak Didik dengan pelan. "Gombal!" Dia kemudian tersenyum geli. "Mau ikut-ikutan gaya lopus (maksudnya, kelewatan mengancing baju). Bukannya kayak Lupus, jadi mirip kayak kus-kus."

"Nah, mulai ngejek nih. Nanti kutinggalin, ya!" ancam Didik.

"Jangan, dong! Tapi, pe-er Fisika sudah kelar, kan?" Mata jenaka itu muncul. Itulah yang membuat Didik klepak-klepek sejak tiga tahun lalu. 

Dari kecil mereka sudah bersama. Rumah mereka berdekatan. Sejak kelas tiga SMP, rasa cinta itu mulai tumbuh. 

Didik berulangkali ingin mengutarakan cintanya. Sayang sekali, selalu ada yang mengganggu. Padahal dengan rumah berdekatan, alangkah banyak kesempatan untuknya mengutarakan kata cinta.

"Dasar! Kebiasaan. Mau nyontek, ya?" gerutu Didik. Weis tersenyum malu.

Kemudian, bisu. Angin mengajari hujan menerpa dua anak manusia itu. Inilah mungkin kesempatan Didik, untuk mengutarakan isi hatinya, "Weis, boleh aku bicara?"

"Selama ini siapa yang melarangmu bicara? Kalau tak disuruh diam, kau ngoceh terus seperti cucakrawa." Weis kembali tertawa.

Didik kelihatan sangat serius. "Weis, aku sebenarnya...." Sreet! Sebuah angkot berhenti memotong pembicaraan mereka.

"Hanya ada satu. Mau? Ketimbang terlambat," kata stokar (pen; kernet angkutan kota).

"Mana buku Fisika?" tanya Weis. Didik mengangsurkan bukunya. Buru-buru Weis menerima. Buru-buru masuk ke dalam angkot, sambil melambai kepada Didik yang tersenyum kecut. Mungkin lain kali masih ada kesempatan. Rumah mereka kan berdekatan!

***

Setahun kemudian

Begitu gembira anak-anak SMA itu berkumpul di sungai. Inilah hari terakhir mereka bersama-sama. Selanjutnya, terserah masing-masing. Yang mau kuliah, silahkan. Yang mau tetap kuli ayah, silahkan. Yang mau menikah, juga tak ada yang melarang.

Inilah kesempatan Didik untuk mengutarakan cintanya. Tapi, mana mungkin di antara orang ramai. Yang ada semua akan heboh. Tahulah, kalau cara anak muda bagaimana. Bisa bikin kepala pening mendengar godaan mereka.

Didik ada akal. Dia menarik tangan Weis. "Kita ke seberang sungai, yok!" ajak Didik.

"Buat apa? Di sini kan enak. Ramai lagi." Weis menghentakkan tangannya. Terbit air luirnya melihat anak-anak mulai mencicipi mangga muda  dengan sambal terasi. 

"Sebentar saja!" Ada kata-kata memaksa dari mulut Didik. Dan itu terpancar dari matanya. Weis ogah-ogahan menurut. Anak-anak meneriaki mereka jangan menyeberang sungai. Didik ngotot.

Hampir berada di tengah sungai, Weis terpeleset. Air sungai lumayan deras dan besar. Sigap Didik menyeburkan badan. Dia berhasil menyelamatkan Weis, dengan risiko mereka berdua basah kuyup. Anak-anak tertawa. Tidak dengan Weis.

Ketika Didik akan berangat ke Bandung, luluhlah hati Weis. Dia mengantar kepergian cowok itu di terminal bis. Saat itu, Didik ingin mengutarakan maksudnya. Tapi, dia malu kepada ayah-ibunya. Weis bagi mereka sudah seperti anak sendiri. Perasan itu pun dipendam Didik. Mungkin setelah tamat kuliah dan mendapat pekerjaan, dia akan mantap mengutarakan cintanya. Saat itu bukan hanya akan dijadikan pacar, Weis akan dijadikan istri. Didik tersenyum. Khayalannya larut dalam kaca bis yang berkabut karena rintik hujan mulai turun.

***

Sepuluh tahun berlalu

Pasanggrahan itu menjadi saksi. Lampu mati, hujan berkepusu. Di pondok kecil di depan pasanggrahan mereka ingin menyatu. Saling bersitatap, tak hanya sebatas tatap. Saling ingin memegang, tapi seperti ada penghalang. Setelah menarik napas panjang, menghembuskan napas kuat-kuat, Didik akhirnya mengutarakan cintanya. Tapi, buat apa? Apabila perahu sudah berlayar, pantang surut ke belakang. Apabila palu hakim diketukkan, siapa lagi yang bisa membantah?

Hujan akhirnya tak hanya turun di luar. Turun juga dipondok kecil itu. Mengalir dari sudut mata, melintasi pipi Weis. Didik ingin menghapusnya, tapi sekarang tak kuasa apa-apa.

"Kenapa baru kau ucapkan sekarang, Dik? Apa yang ada dari dulu di hatimu, memang tumbuh juga di hatiku. Haruskah cewek yang harus mengutarakannya lebih dulu? Bukankah dari kecil kita sudah bersama? Bukankah rumah kita sangat berdekatan? Kenapa tak sekalipun mencoba?"

"Sudah sering aku mencoba mengatakan kepadamu, tapi selalu saja ada penghalang dan pengganggu. Masihkah  ada kesempatan, Weis?"

Lampu kembali menyala, hujan reda, seketika itu sebuah mobil hitam keluaran terbaru berhenti di depan mereka. Seorang cowok keluar dari dalam mobil itu, berlari kecil menuju mereka. "Eh, kalian di sini, Weis. Ini cowok yang sering kau ceritakan. Oh, kenalkan. Nama saya Rahmad. Kau pasti Didik, kan?" Tangan itu menyalami Didik, terasa dingin bekas hawa ac mobil. Tapi, menjalar panas membakar hati Didik yang sedang patah.

"Kami permisi dulu, ya. Ada pekerjaan." Dia menarik pelan tangan Weis. Cowok itu berhenti kembali. "Jangan lupa, minggu depan hadir di pesta pernikahan kami, ya? Kalau kau ke Jakarta, mampir ke rumah." Ramah betul cowok itu. Hati Didik hancur. 

Saat mobil itu berjalan meninggalkannya sendirian, dia merasa hancur selamanya. Dia tak dapat menangis, karena tangis yang keluar dari mata dan jatuh ke tanah, pada akhirnya akan bisa menyembuhkan lara. Tapi tangis yang masuk ke dalam dan jatuh ke hati, akan dia ingat selamanya.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun