Dari kecil mereka sudah bersama. Rumah mereka berdekatan. Sejak kelas tiga SMP, rasa cinta itu mulai tumbuh.Â
Didik berulangkali ingin mengutarakan cintanya. Sayang sekali, selalu ada yang mengganggu. Padahal dengan rumah berdekatan, alangkah banyak kesempatan untuknya mengutarakan kata cinta.
"Dasar! Kebiasaan. Mau nyontek, ya?" gerutu Didik. Weis tersenyum malu.
Kemudian, bisu. Angin mengajari hujan menerpa dua anak manusia itu. Inilah mungkin kesempatan Didik, untuk mengutarakan isi hatinya, "Weis, boleh aku bicara?"
"Selama ini siapa yang melarangmu bicara? Kalau tak disuruh diam, kau ngoceh terus seperti cucakrawa." Weis kembali tertawa.
Didik kelihatan sangat serius. "Weis, aku sebenarnya...." Sreet! Sebuah angkot berhenti memotong pembicaraan mereka.
"Hanya ada satu. Mau? Ketimbang terlambat," kata stokar (pen; kernet angkutan kota).
"Mana buku Fisika?" tanya Weis. Didik mengangsurkan bukunya. Buru-buru Weis menerima. Buru-buru masuk ke dalam angkot, sambil melambai kepada Didik yang tersenyum kecut. Mungkin lain kali masih ada kesempatan. Rumah mereka kan berdekatan!
***
Setahun kemudian
Begitu gembira anak-anak SMA itu berkumpul di sungai. Inilah hari terakhir mereka bersama-sama. Selanjutnya, terserah masing-masing. Yang mau kuliah, silahkan. Yang mau tetap kuli ayah, silahkan. Yang mau menikah, juga tak ada yang melarang.