"Sudah sering aku mencoba mengatakan kepadamu, tapi selalu saja ada penghalang dan pengganggu. Masihkah  ada kesempatan, Weis?"
Lampu kembali menyala, hujan reda, seketika itu sebuah mobil hitam keluaran terbaru berhenti di depan mereka. Seorang cowok keluar dari dalam mobil itu, berlari kecil menuju mereka. "Eh, kalian di sini, Weis. Ini cowok yang sering kau ceritakan. Oh, kenalkan. Nama saya Rahmad. Kau pasti Didik, kan?" Tangan itu menyalami Didik, terasa dingin bekas hawa ac mobil. Tapi, menjalar panas membakar hati Didik yang sedang patah.
"Kami permisi dulu, ya. Ada pekerjaan." Dia menarik pelan tangan Weis. Cowok itu berhenti kembali. "Jangan lupa, minggu depan hadir di pesta pernikahan kami, ya? Kalau kau ke Jakarta, mampir ke rumah." Ramah betul cowok itu. Hati Didik hancur.Â
Saat mobil itu berjalan meninggalkannya sendirian, dia merasa hancur selamanya. Dia tak dapat menangis, karena tangis yang keluar dari mata dan jatuh ke tanah, pada akhirnya akan bisa menyembuhkan lara. Tapi tangis yang masuk ke dalam dan jatuh ke hati, akan dia ingat selamanya.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H