Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Cinta Itu Kandas

5 April 2019   21:39 Diperbarui: 5 April 2019   21:52 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Inilah kesempatan Didik untuk mengutarakan cintanya. Tapi, mana mungkin di antara orang ramai. Yang ada semua akan heboh. Tahulah, kalau cara anak muda bagaimana. Bisa bikin kepala pening mendengar godaan mereka.

Didik ada akal. Dia menarik tangan Weis. "Kita ke seberang sungai, yok!" ajak Didik.

"Buat apa? Di sini kan enak. Ramai lagi." Weis menghentakkan tangannya. Terbit air luirnya melihat anak-anak mulai mencicipi mangga muda  dengan sambal terasi. 

"Sebentar saja!" Ada kata-kata memaksa dari mulut Didik. Dan itu terpancar dari matanya. Weis ogah-ogahan menurut. Anak-anak meneriaki mereka jangan menyeberang sungai. Didik ngotot.

Hampir berada di tengah sungai, Weis terpeleset. Air sungai lumayan deras dan besar. Sigap Didik menyeburkan badan. Dia berhasil menyelamatkan Weis, dengan risiko mereka berdua basah kuyup. Anak-anak tertawa. Tidak dengan Weis.

Ketika Didik akan berangat ke Bandung, luluhlah hati Weis. Dia mengantar kepergian cowok itu di terminal bis. Saat itu, Didik ingin mengutarakan maksudnya. Tapi, dia malu kepada ayah-ibunya. Weis bagi mereka sudah seperti anak sendiri. Perasan itu pun dipendam Didik. Mungkin setelah tamat kuliah dan mendapat pekerjaan, dia akan mantap mengutarakan cintanya. Saat itu bukan hanya akan dijadikan pacar, Weis akan dijadikan istri. Didik tersenyum. Khayalannya larut dalam kaca bis yang berkabut karena rintik hujan mulai turun.

***

Sepuluh tahun berlalu

Pasanggrahan itu menjadi saksi. Lampu mati, hujan berkepusu. Di pondok kecil di depan pasanggrahan mereka ingin menyatu. Saling bersitatap, tak hanya sebatas tatap. Saling ingin memegang, tapi seperti ada penghalang. Setelah menarik napas panjang, menghembuskan napas kuat-kuat, Didik akhirnya mengutarakan cintanya. Tapi, buat apa? Apabila perahu sudah berlayar, pantang surut ke belakang. Apabila palu hakim diketukkan, siapa lagi yang bisa membantah?

Hujan akhirnya tak hanya turun di luar. Turun juga dipondok kecil itu. Mengalir dari sudut mata, melintasi pipi Weis. Didik ingin menghapusnya, tapi sekarang tak kuasa apa-apa.

"Kenapa baru kau ucapkan sekarang, Dik? Apa yang ada dari dulu di hatimu, memang tumbuh juga di hatiku. Haruskah cewek yang harus mengutarakannya lebih dulu? Bukankah dari kecil kita sudah bersama? Bukankah rumah kita sangat berdekatan? Kenapa tak sekalipun mencoba?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun