Sepuluh tahun lalu
Didik merengut. Kenapa sih pagi-pagi harus hujan? Kenapa  sih  harus Senin, bukan hari Minggu? Segala kesal berkelindan di kepala. Mana disuruh ibu membawa payung. Kan, malu jadinya! Masa' anak cowok membawa payung. Lihat, tuh, anak-anak yang berjubel di dalam angkutan kota, melihat geli ke arah Didik. Mungkin dalam hati mereka berkata, "Hii, anak cowok kok memakai payung. Cemeeen!"
Tapi setelah cewek manis itu datang, dan tiba-tiba merapat ke tubuhnya, Didik bersyukur. Dia lekas-lekas meminta ampun kepada Tuhan. Bagaimana pun, mau panas mau hujan, tetap ada sebagian makhluk bersyukur.Â
Ternyata berkah itu jatuh kepada Didik. Nanti sore sepulang sekolah, dia bejanji mencium kaki ibunya. Kalau saja tadi menolak perintah ibunya, bagaimana mungkin dia bisa berdiri berdua cewek itu di pinggir jalan. Hidung Didik mengembang. Selain karena bahagia, dia juga ingin menghirup wangi shampo dari rambut cewek itu.
"Sedang menunggu angkot, ya?" tanya Weis, nama cewek itu. Rambutnya dihembuskan angin, menerpa wajah Didik. Didik hampir  terjauh menahan gemetar di lutut.
"Sudah tahu sedang menunggu angkot, nanya!" Didik pura-pura marah.
"Ye, orang ditanya, marah-marah." Weis cemberut.
"Nah, itu yang aku mau. Kalau kau cemberut, tambah manis, deh."
Weis memukul pundak Didik dengan pelan. "Gombal!" Dia kemudian tersenyum geli. "Mau ikut-ikutan gaya lopus (maksudnya, kelewatan mengancing baju). Bukannya kayak Lupus, jadi mirip kayak kus-kus."
"Nah, mulai ngejek nih. Nanti kutinggalin, ya!" ancam Didik.
"Jangan, dong! Tapi, pe-er Fisika sudah kelar, kan?" Mata jenaka itu muncul. Itulah yang membuat Didik klepak-klepek sejak tiga tahun lalu.Â