Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lubang Pak Kuranji

2 April 2019   10:51 Diperbarui: 2 April 2019   10:54 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Perkara Pak Kuranji menggali beberapa lubang di belakang rumahnya, kami sebenarnya  tak ambil pusing. Siapa saja boleh melakukan itu. Bisa jadi Pak Kuranji sedang ingin menanam pohon.  

Tetapi sebulan berlalu, timbul juga kecurigaan kami. Pak Kuranji tak melakukan apa-apa terhadap lubang-lubang itu. Dia tak menyemai benih. Lubang terbiar seperti nganga menunggu mangsa.

"Apa guna dia melakukan itu?" 

Kami merasa resah. Kami mengadu kepada tetua kampung perkara Pak Kuranji. Sekarang ini apa-apa yang aneh, selalu menimbulkan syakwasangka. 

"Kenapa harus resah? Bisa jadi dia hendak menanam pohon!" Ki Marun, tetua kampung, membela laku Pak Kuranji. 

"Menanam pohon? Lubang sudah banyak, tapi tak ditanami apa-apa, Ki!" kataku sambil menatap Yasin, meminta dukungan

"Benar, Ki. Kami curiga kalau-kalau dia hendak membalas dendam!" Paten kali si Yasin ini mendukungku.

"Apa hubungannya?"

"Ki Marun ingat siapa Pak Kuranji? Dia dan sanak saudaranya adalah orang yang dituduh tak bersih, karena menerima cangkul cap buaya. Itu lho, Ki, kejadian tahun '65."

Keluarga besar Pak Kuranji rata-rata petani. Dulu, saat ribut-ribut pembagian cangkul atau peralatan tani cap buaya oleh kelompok tertentu, hampir seluruh sanak saudara Pak Kuranji ikut mengambil. Dalam hati mereka, dikasih ya ambil. Bagi mereka tak ada keberpihakan atau pemahaman politik. 

Namun setelah pembantaian tujuh jenderal, sanak saudara Pak Kuranji turut menjadi sasaran amarah. Mereka diberondong peluru di lapangan kampung bersama orang tak bersih lainnya. Pak Kuranji kali itu bisa selamat karena sedang berada di pulau lain, dan tak pulang kampung hingga tujuh tahun. Ketika suasana tenang, barulah dia ada di sini, di tanah peninggalan orangtuanya.

"Kalau begitu alasannya, bisa-bisa kita yang di sini mati. Bukankah sanak saudara kita turut andil membunuh massal sanak saudara Pak Kuranji? Sebelum dia membunuh kita, lebih baik kita membunuhnya duluan."

"Jangan begitu! Tak boleh gegabah. Kita mata-matai saja tindak-tanduknya sampai sebatas apa. Bila membahayakan, sikat habis saja!"

 "Pokoknya jangan sampai gegabah berbuat. Pakai akal, nanti menyesal." Ki Marun menutup rapat singkat sore itu.

Pak Kuranji tetap menggali sehingga seluruh pekarangan rumahnya penuh lubang. Tapi belum terbetik berita kalau salah seorang warga di kampung ini menghilang. Lubang-lubang hasil galian Pak Kuranji tetap nganga. Timbul permasalahan baru ketika pekarangan yang penuh lubang itu dipagar seng.

"Bisa jadi dia sedang menjalankan ritual ilmu hitam!" kataku antusias. Di kota seberang, terkabar ada laku orang pengabdi ilmu hitam yang membunuh beberapa korban dan menanam jasadnya di lubang-lubang yang sudah disiapkan jauh hari sebelumnya. Pengabdi ilmu hitam itu bisa menghilang. Dia juga orang yang tak bergaul dengan masyarakat sekitar, misterius dan pendiam.

Semua laku pengabdi ilmu hitam itu, jika dihubung-hubungkan dengan Pak Kuranji, sepertinya hampir sama. Pak Kuranji jarang bergaul di kampung ini. Dia pendiam. Dia misterius, terkadang menghilang dari kampung sampai beberapa hari. Kemudian tak disangka-nyana, tiba-tiba sudah duduk di teras rumahnya sambil menyeruput kopi. Dan lubang-lubang itu, ah... kami tak seharusnya membiarkan hal buruk menimpa kampung ini.

"Kita datangi saja rumahnya ramai-ramai."

"Bakar saja rumahnya, termasuk Pak Kuranji."

"Ayo, kita bergerak sebelum jatuh korban."

Ki Marun buru-buru menghalangi kami di perempatan jalan. Dia sudah menanyakan kepada Pak Kuranji perkara pagar seng itu. Ternyata Pak Kuranji tak ingin manusiakah, atau hewankah, terjeblos ke lubang-lubang yang dia gali.

"Oke, kami paham! Tapi Ki Marun tak menanyakan guna dia menggali lubang sebanyak itu?" 

"Alah, aku lupa! Nantilah kutanyakan lagi."

Hari berganti dengan cepat. Apapun tindak-tanduk Pak Kuranji, tak lagi bisa kami awasi dengan bebas. Lagi pula urusan rumah tangga masing-masing, telah menyita lebih banyak perhatian. Harga-harga serba mahal. Penghasilan tak juga bertambah, kecuali mereka yang bergaji bulanan dan bekerja untuk pemerintah. 

Hingga di suatu senja, Lokot ribut di halaman rumah Ki Marun. Katanya, Pak Kuranji sudah mulai melakukan penanaman lubang. Entah apa yang ditanam.

"Mungkin sesuatu yang rahasia, Ki. Aku melihat kepul asap di sekeliling rumahnya. Mungkin membakar barang bukti." Lokot berbicara terbata-bata. Kerumunan warga memenuhi halaman rumah Ki Marun. 

"Kenapa tak kau selidiki langsung?" tanyaku.

"Bagaimana menyelidikinya? Masuk ke dalam pagar seng itu saja aku takut. Bisa-bisa aku dibunuh Pak Kuranji."

Akhirnya Ki Marun tak bisa menahan kehendak warga yang ingin ramai-ramai mendatangi rumah Pak Kuranji. Hampir tujuhpuluhan orang, kemudian berjalan membawa pentungan dan beberapa senjata tajam. Ki Marun berkali-kali mengatakan jangan sampai terjadi tindakan anarkis. Tapi siapa yang menjamin? Selalu saja tindakan anarkis terjadi bila kondisi ramai dengan massa penuh amarah. Sedikit saja yang memicu, langsung meledak dan menghancurkan.

Kami kemudian merangsek, merobohkan pagar seng rumah Pak Kuranji. Lubang-lubang yang dulu banyak di pekarangan, sekarang sudah ditimbun. Banyak abu bekas pembakaran di tanah. Kami mencari-cari Pak Kuranji, tapi dia tak kami temukan.

"Ayo, gali! Gali lubang yang ditimbunnya."

"Cari barang bukti!"

Lubang-lubang digali. Hanya kertas yang sudah terbakar menjadi serpihan hitam yang kami temukan di setiap lubang.

"Hah, mungkin dia akan membuat makar. Bisa jadi ini dokumen-dokumen rahasia yang sengaja disimpan rapi Pak Kuranji."

Seseorang menemukan Pak Kuranji bersembunyi di kolong rumah. Dia diseret ke hadapan Ki Marun. Kami lihat, tak ada ketakutan di matanya. Dia malahan tenang tanpa gejolak.

"Apa ini dokumen-dokumen rahasia yang kau tanam? Kau ingin berbuat makar? Atau ini dokumen rahasia teroris?" Mata Ki Marun membola.

Pak Kuranji tertawa lepas, "Hahaha, kalian semua lucu! Ini hanya buku-buku sejarah. Aku ingin menghanguskan dan membakarnya. Karena sejarah kita banyak didusta, seperti cerita dalam buku-buku itu."

Seluruh orang saling bersitatap bingung.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun