"Kalau begitu alasannya, bisa-bisa kita yang di sini mati. Bukankah sanak saudara kita turut andil membunuh massal sanak saudara Pak Kuranji? Sebelum dia membunuh kita, lebih baik kita membunuhnya duluan."
"Jangan begitu! Tak boleh gegabah. Kita mata-matai saja tindak-tanduknya sampai sebatas apa. Bila membahayakan, sikat habis saja!"
 "Pokoknya jangan sampai gegabah berbuat. Pakai akal, nanti menyesal." Ki Marun menutup rapat singkat sore itu.
Pak Kuranji tetap menggali sehingga seluruh pekarangan rumahnya penuh lubang. Tapi belum terbetik berita kalau salah seorang warga di kampung ini menghilang. Lubang-lubang hasil galian Pak Kuranji tetap nganga. Timbul permasalahan baru ketika pekarangan yang penuh lubang itu dipagar seng.
"Bisa jadi dia sedang menjalankan ritual ilmu hitam!" kataku antusias. Di kota seberang, terkabar ada laku orang pengabdi ilmu hitam yang membunuh beberapa korban dan menanam jasadnya di lubang-lubang yang sudah disiapkan jauh hari sebelumnya. Pengabdi ilmu hitam itu bisa menghilang. Dia juga orang yang tak bergaul dengan masyarakat sekitar, misterius dan pendiam.
Semua laku pengabdi ilmu hitam itu, jika dihubung-hubungkan dengan Pak Kuranji, sepertinya hampir sama. Pak Kuranji jarang bergaul di kampung ini. Dia pendiam. Dia misterius, terkadang menghilang dari kampung sampai beberapa hari. Kemudian tak disangka-nyana, tiba-tiba sudah duduk di teras rumahnya sambil menyeruput kopi. Dan lubang-lubang itu, ah... kami tak seharusnya membiarkan hal buruk menimpa kampung ini.
"Kita datangi saja rumahnya ramai-ramai."
"Bakar saja rumahnya, termasuk Pak Kuranji."
"Ayo, kita bergerak sebelum jatuh korban."
Ki Marun buru-buru menghalangi kami di perempatan jalan. Dia sudah menanyakan kepada Pak Kuranji perkara pagar seng itu. Ternyata Pak Kuranji tak ingin manusiakah, atau hewankah, terjeblos ke lubang-lubang yang dia gali.
"Oke, kami paham! Tapi Ki Marun tak menanyakan guna dia menggali lubang sebanyak itu?"Â