"Ini memang keharusan. Hasil kebun inilah yang membuat kami bisa bertahan hidup. Hasil kebun ini yang membuatku masih bisa mencecap bangku sekolah hingga sekarang. Kenapa pula harus disia-siakan. Bila panen gagal, kami juga yang susah."Â
Aku terkejut. Bagaimana mungkin aku bisa berbicara panjang lebar begitu. Pipiku pasti bersemu merah. Maisaroh memetik sebuah jeruk yang sudah menguning di dekatnya.
"Kalau kau mau, ambillah satu."
Maisaroh menolak. Dia menggeleng sehingga rambutnya berkibar. Kuaromai bau khas shampo yang menggoda. Begitu dia memasukkan jeruk itu ke dalam bakul di tanganku, berhembus pula bau tubuhnya yang wangi.Â
Tak salah lagi, aku benar semaput cinta kepadanya. Aku berharap dari tingkah-lakunya, adalah pertanda dia siap menyambut cintaku, kapan pun aku sanggup mengutarakannya.
Begitulah, waktu bergulir seperti kincir angin. Pelan, kencang, pelan, kencang. Pada saat berdua dia, terasa waktu cepat berputar. Pada saat tak berdua dia, terasa waktu bergerak lamban. Cinta memang aneh, tapi asyik.Â
Entahlah.... Sampai sekarang aku belum mampu mengutarakan apa yang menggejolak di dada ini kepadanya. Aku hanya berprinsip bahwa tingkah-lakunya adalah bukti rasa cinta. Cinta terkadang tak perlu dipecahkan di mulut. Cinta bisa diresapi, dirasakan.
Pernah satu kali dia berkunjung ke rumahku, setelah hampir dua belas hari dia di sini. Rasanya jantungku langsung berkelojotan. Kendati senang, aku juga malu kepada Ayah. Aku takut Ayah tak menyetujui anaknya menjalin cinta kasih di usianya yang masih belia.Â
Ayah terlalu banyak berharap kepadaku. Dua abangku menikah muda sebelum menyelesaikan SMA. Hasilnya, penghidupan mereka senin-kamis. Meskipun mereka tak tinggal serumah dengan kami, toh berbilang kali keduanya merengek kepada Ayah. Tentang biaya ini-itu yang ujung-ujungnya hanya meminta hutangan.
Ayah kiranya telah begitu baik menerima Maisaroh. Bahkan ketika sengaja kubiarkan berdua, mereka terlihat cepat akrab. Percakapan mereka tak tersendat-sendat. Saat aku menanyakan pendapat Ayah tentang Maisaroh, Ayah mengatakan dia adalah sosok perempuan yang baik. Bahkan terang-terangan Ayah membuka pintu lebar-lebar setiap kali Maisaroh ingin berkunjung ke rumah kami.
Apalagi yang diragukan? Aku sangat mencintai Maisaroh. Masiaroh seperti menunjukkan kalau perasaan kami memang sama. Sementara Ayah telah menunjukkan sikap sebagai orang tua yang menerima apa adanya.Â