Aku menyabar-nyabarkan hati. Perempuan itu pasti tak selalu hendak tegak di tingkap, karena dia bukanlah pigura atau patung. Kalaupun manusia, dia mungkin gila berbetah-betah di situ. Beberapa hari berselang, sungguh dia memang hadir di sana setiap petang, menyisiri rambutnya.Â
Biasanya setelah aku sekejap-dua membersihkan gulma, barulah buah cintaku itu muncul menebarkan aroma kasih. Atau, pernah juga dia sudah ada di tingkap saat aku datang. Kemudian sebelum aku selesai dengan tugas-tugasku, dia sudah menghilang karena dipanggil seseorang atau demi mengerjakan sesuatu.
Malas-malasan kupetik buah jeruk yang hampir masak. Kulirik tingkap. Masih sepi. Hati ini risau. Bisa jadi dia sedang tertidur lelap. Lebih parah lagi, dia sudah pulang ke desanya nun di seberang. Bila itu yang terjadi, pantaslah aku merutuki diri sendiri.Â
Merutuki si pemalu yang bersemayam di hatiku. Bagaimana pun kesempatan langka lesap sudah. Padahal apabila aku bisa berdekatan dengannya, apalagi kami bisa menjalin keakraban, betapa megah rasanya dada ini.Â
Aku tak akan malu dengan teman satu kelas, bahwa aku juga mampu mendapatkan kekasih. Ya, sangat wajar menjelang lulus SMA, seorang lelaki seperti aku memiliki tambatan hati.
"Ehm, lagi memetik jeruk, ya?" sapaan itu seolah hembusan sejuk yang menerpa tengkukku. Naluriku berkata, ada seorang perempuan cantik tengah berdiri sekian langkah di belakangku.Â
Ya, bisa jadi tebakanku tentang perempuan cantik, mutlak karena aku sedang dirundung kasmaran. Mendengar suara ramah dan lembut perempuan, aku langsung bisa memperkirakan dia secantik suaranya.
Aku tersentak ketika membalikkan badan. Perempuan itu. Hei, perempuan tingkap! Apakah aku tak salah lihat? Meskipun kukucek mata, memastikan dia bukanlah sosok khayalan, senyum manisnya itu tetap nyata. "Boleh kita berkenalan?" Dia mengulurkan tangan. Aku buru-buru menampar-namparkan telapak tangan ke bokong. Lalu, kusalami dia.
Perempuan tingkap itu secantik namanya. Maisaroh. Kerling matanya sungguh membuatku gemetar.Â
"Kau pemuda yang rajin. Sudah beberapa petang ini aku melihatmu tanpa lelah membersihkan rumput di sini."
Aku tengadah melihat buah jeruk yang menguning di atas kepalaku. Sekadar meredakan degup di dada yang bergemuruh, aku memeitk jeruk itu. Meletakkannya sangat pelan ke dalam bakul.