Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kotanopan Kala Itu

30 Maret 2019   10:08 Diperbarui: 30 Maret 2019   11:25 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami kelelahan setelah menggelinding dari Simandolam  yang berdiri di punuk bukit barisan itu. Tadi, sebelum turun, sebentar kami berdiri di depan rumah kepala desa. Kotanopan serupa kuali di bawah sana. Sungai Batang Gadis menjelma ular, meliuk-liuk menerjang tebing-tebing, berjalan menuju muara yang kami tak tahu berada di mana. 

Perjalanan melelahkan! Apalagi harus menggelinding di jalanan licin selepas hujan  deras, ditingkah nyanyi lutung bersahut-sahutan. Sekali-dua bertemu babi yang menerbas rumpun-rumpun. Sekali-dua melihat serombongan monyet menyeberang jalan di pucuk-pucuk pohon yang dahannya saling menjalin. Tapi harimau tak sedetik melintas. Harapan kami pun tiada melihatnya. Melihatnya sama saja bertaruh dengan kematian.

Baca Juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5c9cebe0971594490c6364a2/partokariun-dan-cerita-ceritanya-i

Bari lebih dulu memasuki kamar mandi di pasanggrahan. Telapak kakinya tebal oleh lumpur. Disusul Matdirin yang sengau dengan nyanyinya. Barulah Bokor. Buru-buru mandi serupa burung layang-layang. 

Kutemukan setitik lumpur menempel di dalam daun telinganya, pertanda dia tak mandi bersih-bersih. Dingin katanya, karena di luar memang gerimis tiba lagi. Menghentak pohon raksasa, mahoni yang berdiri jejal di halaman depan dan samping pasanggrahan. Biji-biji mahoni beterbangan serupa baling-baling helikopter. Melayang ke halaman pasanggarahan, dan sebagian jauh mengangkasa, lalu jatuh di halaman rumah-rumah penduduk beratap seng berwarna coklat pekat.

"Kau belum mandi, Karim?" Bokor duduk di sebelahku. Dia telah memesan secangkir kopi panas yang dibawanya dengan tangan bergetar. Setangkup roti isi selai nanas, dihidangkannya di atas meja. 

Aku mengerling. Lapar menjilatku. Tapi taklah enak meminta kepada Bokor yang pelit. Lebih baik aku menyuruh pelayan menyeduh mie instan. Tentu enak menyeruput kuahnya sembari diteman teh hambar yang sangat panas.

"Belum! Aku mau menyelesaikan catatanku ini." Mataku melotot melihat buku yang sudah menguning di pangkuanku. Sengaja aku serius, sekedar menghindari godaan setangkup roti dan aroma kopi kampung yang menyengat itu.

Aku, Bari, Matdirin dan Bokor memang sengaja datang ke kota kecil ini. Sekedar melihat kesibukannya dan membuat catatan dalam buku kisah perjalanan kami. Kota ini cukup menarik. Masih sangat asri. Rumah-rumah tua berdiri kokoh dengan cat memudar khas kolonial Belanda. 

Sebuah gereja satu-satunya, berdiri sekitar setengah kilometer dari pasanggarahan. Jalanan masih diaspal kasar. Berbatu-batu. Tapi sangat indah dengan di kiri kanannya dirimbuni pepohon atau bunga-bunga kertas yang lagi bersemi. Suara Sungai Batang Gadis juga terdengar halus. Meriap menerpa-nerpa tebing di belakang rumah-rumah panggung penduduk.

Gedung-gedung tempat berjualan yang memanjang di kiri-kanan jalan di pasar kota kecil ini, pun masih menunjukkan suasana kolinial. Sebuah sekolah panggung berdiri sekitar seratus meter dari pasanggarahan. Juga ada balai desa yang dipayung mahoni meraksasa. Sebuah tugu pahlawan menonjok langit di halaman kantor camat. Sama dengan bangunan-bangunan lain, bergaya kolonial. 

Kata Matdirin yang sudah berulang kali bertandang ke kota ini, nyaris seluruh penduduknya muslim Hanya ada satu keluarga beragama Budha. Tionghoa totok. Entah kapan mereka menetap. Entah kapan mereka hijrah. Selebihnya ada yang beragama Kristen. Itu pun kaum pendatang dan pekerja kantoran, seperti kepala penjara dan jajarannya, kepala polisi dan jajarannya, juga guru-guru.

Kami sudah melihat geliat yang manis ketika pekan digelar di hari Sabtu. Ramai juga dengan jualan aneka rupa. Sayur-mayur beragam, juga buah-buahan hutan yang rata-rata asam. Kata Matdirin, peduduk senang yang asam-asam untuk dirujak. Mungkin kegemaran saja tersebab dingin kota yang menuntutnya.

Di halaman pasanggrahan pastilah ada pagelaran jualan obat. Penontonnya merubung. Terkadang ada sulap yang hanya setengah episode dipertunjukkan. Selebihnya hanya menjaja obat. Tapi penonton tak reda sampai pukul tiga sore. Menjelang pukul lima, pasar dilipat kembali.

Orang-orang berjejal di mobil omprengan dan bis yang mengantar mereka ke negeri jauh, atau ke pelosokan. Beberapa naik pedati dengan kerbau-kerbau bertanduk panjang yang senang melenguh. Bunyi cak-cek-cak, terdengar halus begitu pedati bergerak.

"Bagaimana catatanmu tentang kegiatan markusip di Simandolam itu?" Matdirin masih mengenakan handuk. Tapi dia sudah memakai kaos oblong. Segelas teh hangat ditiupnya. Dia duduk di seberangku, di atas kursi rotan yang jalinannya sudah banyak lepas.

"Hmm, cukup menarik, dan kelak akan kubahas lebih detail di catatan perjalanan kita. Markusip itu unik. Di mana para pemuda menjadikannya kesempatan untuk mencari jodoh."

Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5c9d733f95760e479d50ed72/partokariun-dan-cerita-ceritanya

Itulah salah satu yang membuat kami betah menetap sementara di kota ini. Seperti kata kepala desa Simandolam, markusip memang menjadi kebiasaan pemuda di desanya dalam mencari jodoh. 

Biasanya saat malam berudara cerah dan bulan benar-benar bunting, mereka sudah mengintai-intai serupa maling yang menelungkupkan kain sarung hingga kepala. Mereka bersenjatakan lidi. Mengendap-endap ke kamar perempuan yang mereka incar. Sambil berdehem, perempuan yang ditaksir akan beringsut mendekati lantai papan yang memiliki celah sempit. 

Pemuda akan menjuluk-julukkan lidi, hingga perbincangan menjadi lepas kekang. Biasanya masing-masing pasangan sudah saling mengenal dengan kode masing-masing. Hingga tak ada kesalahan, semisal pacar si A diambil si B. Begitu sebaliknya. Saat markusip itulah dirangkai cerita untuk jangka pendek, misalnya rencana pergi bersama di acara pesta kawinan si anu. Atau, cerita jangka panjang, seperti kapan si pemuda berani meminang si pemudi.

Percintaaan yang aneh! Tapi para orangtua membiarkannya. Mereka tahu, tapi pura-pura tak tahu. Itu sudah menjadi tradisi. Percintaan hanya berlanjut lewat lantai. Tak bisa saling meraba, apalagi mencium. Kalaupun di siang harinya bersua, biasanya si pemudi ditemani pengusir nyamuk, semacam pengawal, tatkala ingin bersua dengan pujaan hatinya.

"Tadi malam kau sempat mempraktekkannya?" kejar Matdirin.

"Sempat! Cukup menarik, tapi membuatku kuwalat!" jawabku.

"Kok bisa begitu?" Matdirin tertawa.

"Barusan ketika bersua sesuai janji dengan yang kukusip, ternyata dia jelek."

"Tapi berjenis kelamin perempuan, kan?" kelakar Bokor.

"Setan! Kau pikir aku penikmat banci!" 

Pecah tawa di antara kami. 

Kutanyakan kepada mereka di mana Bari. Kata mereka sudah mendengkur di kamar. 

"Eh, kalian tahu tidak kalau dulu pihak kolinial Belanda selalu menginap, berpesta-pesta di pasanggrahan ini?" tanya Matdirin.

"Tahu! Aku melihat beberapa photo orang Belanda di balairung pasanggarahan," jawabku. "Kenapa rupanya?"

Matdirin menyipitkan matanya yang sudah benar-benar sipit dari sananya. Aku dan Bokor menarik kursi merapati Matdirin. Kelihatannya teman yang satu ini cukup serius. 

Dia membocorkan rahasia bahwa konon di tangga depan pasanggrahan tersimpan harta peninggalan Belanda.

"Kenapa tak ada yang mengambilnya?" tanyaku.

"Orang-orang takut. Lagipula mereka ragu apakah itu benar adanya atau sekedar isu. Lagian pikiran orang di sini sesederhana kehidupan mereka. Mereka tak terlalu ganas mencari penghidupan dan harta benda. Sekedarnya saja, asal bisa tenang dan makan kenyang.

Lihatlah bagaimana rutinitas penduduk yang rata-rata bertani atau berkebun. Pagi-pagi, ketika pandangan masih rabun dan suasana masih kabur, para lelaki sudah pergi menderes karet. Pukul delapan atau sembilan, sudah berada kembali di kampung. Mereka berkumpul di lepau dan membincangkan tentang tanaman-tamanan berikut rejeki yang mereka peroleh. 

Selanjutnya berkelakar sampai lohor diselang-selingi bermain kartu atau catur yang selalu berakhir pertengkaran. Meski tak berujung permusuhan. Usai lohor, lanjut lagi dengan cerita yang lain. Menjelang ashar stop, kemudian semua kembali ke rumah masing-masing. 

Selepas maghrib mengumpal pula di lepau sampai jam sepuluh atau sebelas malam. Usai itu barulah tidur di rumah mengeloni istri demi membuat anak. Apalagi yang harus dikerjakan?" kata Matdirin dengan lagak jenaka.

"Sedangkan perempuannya, usai menggenapkan tugas di dapur pagi hari sekitaran pukul tujuh, beriiring-iring menuju sawah. Di sana mereka menggebuk hidup demi sebuah harapan panen nanti berhasil dan melimpah-ruah. Ada juga kesempatan berleha-leha, atau sedikit berpoya. Misalnya membeli pakaian baru di pasar Kotanopan. Atau setidaknya menonton beramai-ramai di Bioskop Tapanuli. Hahaha, tak sadar orang-orang dari pedalaman datang berbondong, berjalan kaki. Malam-malam semua kendaraan tidur. Mereka membiarkan kaki-kaki yang beralas, bahkan satu-dua telanjang melampaui jarak berkilometer. Sampai urat betis mereka kencang. Sampai napas mereka memburu. Ya, ya. Itu adalah kesempatan yang memang ditunggu-tunggu. Ketimbang tinggal di dusun bersama nyala teplok, lebih enak menikmati suasana pasar Kotanopan yang terang-benderang karena dibantu oleh perusahaan listrik daerah. Sama seperti yang lain, peninggalan kolonial Belanda. Juga telepon engkol yang harus diputar serupa gasing. Juga gedung telekomunikasi yang berkapur putih dindingnya. Dan setengah badan bawahnya tersusun dari batu kali sebesar paha orang dewasa."

"Bagaimana kalau kita alihkan pembicaraan ini dengan harta benda di tangga depan pasanggrahan?" Aku mengeluarkan ide gila. Matdirin mendelik. Bokor menyetujui ideku.

"Maksudmu?"

"Kita menggalinya?"

"Kau sudah gila? Orang-orang di sini akan memergoki kita. Bisa-bisa kita diarak ke kantor polisi dan dicap sebagai pendatang yang hanya ingin menghancurkan barang-barang bersejarah. Padahal tujuan semula hanyalah menjadikan budaya dan suasana berkehidupan di kota ini sebagai kisah dalam catatan kita, yang kelak akan kita paparkan ketika sidang. Kau tak ingin menjadi mahasiswa abadi, kan? Siapkanlah skripsimu lebih menarik!" ketus Matdirin.

"Tapi harta lebih menarik!" gerutuku.

"Ya, siapa tahu  kita menjadi kaya mendadak!" balas Bokor. "Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui."

"Kita bisa kuwalat!"

"Tak ada itu dalam kamus kehidupanku," jawabku.

Pukul satu dini hari, ketika hanya suara jangkrik yang terdengar, aku, Matdirin dan Bokor pergi menuju tangga pasanggrahan. Kami mengetuk-ngetuk tangga agar tahu bagian mana yang kopong. Matdirin lalu turun ke parit di bawah tangga. 

Dia mencari celah yang bisa dijadikan pertanda awal bahwa di situ benar ada harta benda peninggalan Belanda. Tapi ketika keluar dari parit di bawah tangga, hanya muka masam bercampur lumut yang dibawanya. Aku tersenyum. Bokor memegangi perutnya menahan tawa.

"Ada tanda-tanda?" tanyaku.

"Tanda-tanda badanku basah, ada!" geram Matdirin. Dia bermaksud mengurungkan rencana gila itu, kemudian memilih tidur serupa Bari. Namun aku tetap memaksa, kalau perlu memecahkan tangga dengan batu-batu besar yang tersusun di bawah mahoni. 

Matdirin menganggapku gila. Bagaimana mungkin memecahkan tangga peninggalan Belanda yang sangat keras itu? Lagipula berapa jam dihabiskan demi menemukan sebuah lobang di bawahnya?

Sedikit timbul pertengkaran di antara kami. Saat aku ingin mengambil batu besar di bawah mahoni, angin dingin tiba-tiba berhembus semilir. Bau bunga melati menyengat. Aku melihat wajah Matdirin dan Bokor pias. Gerangan apa ini?

Tanpa sadar aku melihat ke koridor pasanggarahan. Seorang perempuan mengenakan blouse putih, tengah berdiri menghadap kami. Kulitnya pucat. Rambutnya sepunggung berwarna pirang. Matanya biru serupa bule.

Kecutku berlipat. Kami bergegas masuk ke kamar pasanggarahan serupa kekanak yang terpergok maling ayam. Selimut kami tungkupkan sampai menutup seluruh. tubuh.

Alhasil, pagi hari, manakala sinar matahari belum penuh memanaskan kabut, kami langsung meninggalkan pasanggrahan. Bari protes. Sesuai perjanjian, kami memang masih dua hari lagi menginap di situ. Lagipula Bari sudah ada janji kencan dengan pelayan pasanggarahan.

Tapi kami tak mau kuwalat. Sebuah bis yang oleng ke kiri-ke kanan karena penuh penumpang, kami hentikan. Beregas kami menyempil di dalam, di antara lelaki-perempuan yang berkeringat. Di antara suara riuh ayam yang menggeletak di lantai bis dengan kaki terikat. Juga jerit bayi meminta dada ibunya. 

Bari mengumpat. Bokor menguap. Matdirin, seperti lagaknyahanya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong

Ah, kulihat pasanggarahan untuk terakhir kalinya. Kulihat rerimbun beberapa mahoni berpohon raksasa. Entah bila kapan aku bertandang lagi, suasana yang sama menyambutku, tentu minus perempuan berambut pirang bermata biru yang telah menakutkan kami. Atau kelak hanya tinggal gersang yang menanti. Entahlah! Selamat tinggal pasanggrahan!

"Maju...." Kondektur menjerit. Bus melaju lambat.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun