"Aku ingin seperti Mahmud!" kataku kepada Mak, sembilan bulan lalu. Aku bosan menjadi nelayan, meskipun sesekali menjadi buruh panggul di pelabuhan. Aku ingin seperti Mahmud yang mentereng. Sebenarnya tak kutahu apa pekerjaannya. Yang aku tahu, setiap mudik dari Palembang, selalu ada barang baru yang dia bawa memenuhi rumah orangtuanya. Televisi, arloji, barang-barang keramik, sepeda motor. Coba, siapa yang tahan tetap menjadi si malang amis, yang hidupnya selalu senin-kamis?
"Kita sudah ditakdirkan menjadi nelayan, Kiplik! Seperti bapakmu. Seperti Mak yang selalu disibukkan mengurusi ikan-ikan untuk dijemur dan dibuat ikan asin."
"Seperti Bapak yang pasrah pada takdir dan mati di laut?" Tatapku mencorong dari celah-celah lantai papan yang tersusun jarang. Ada beberapa ekor ikan kecil berebut makanan di bawah situ.
"Husss! Tak baik berkata begitu. Hidup dan mati orang bisa di mana saja. Retak tanganmu adalah nelayan. Bertahanlah di sini, Kiplik. Siapa tahu kelak kau bisa menjadi tengkulak seperti tauke Sang San."
"Apa orang berkulit coklat seperti aku bisa menjadi tauke?"
"Siapa saja bisa, Kiplik!" Mak menyelesaikan pekerjaannya menisik baju yang sobek. Sebentar dia mengeluh sambil menatap ke luar jendela. Panas menyengat di luar sana. Sama seperti menyengatnya niat yang menyemayami dada ini.
"Pokoknya aku harus merantau ke Palembang. Aku mau mencari kerja di sana. Aku ingin seperti Mahmud!Lagi pula, baru tiga kali tanah kota itu kuinjak!"
Mak tak bisa mencegah langkahku yang panjang. Apalagi Mahmud memang merestui niat muliaku. Berbekal menewaskan celengan ayam kesayangan Mak, aku berdua Mahmud berlayar ke Palembang. Kepalaku terasa lebih besar dari biasanya.
"Hidup di kota besar, keras, Kiplik. Kita juga harus keras dan tak boleh lembek." Itu ucapan Mahmud ketika kami sampai di rumah kontrakannya yang sempit dan bau. Dalam khayalku selama ini, paling tak, rumahnya menyamai rumah tauke Sang San. Tapi nyatanya aku salah besar. Kasurku di Sungsang saja lebih tebal dari kasur Mahmud.
"Iya, Kak!" jawabku lesu. Ada sedikit kecewa menjalar di dada ini. Tapi berpantang bagiku berpaling ke Sungsang. Sekali mengayuh perahu, hanya malu besar bila aku kalah dan pulang menemui Mak. Apa kata dunia?
Perasaan kacau semakin membelitku manakala Mahmud mengajakku beroperasi. Dalam benakku, kami akan menuju kantor besar, atau setidak-tidak sebuah toko. Nyatanya kami tumpah di pasar. Mahmud hanya tegak-tegak saja dengan mata jelalatan. Hatiku cemas. Lebih cemas lagi ketika teriakan "copet" mengguncang pasar. Sempat kulihat Mahmud lari terbirit ke dalam sebuah gang.