Angin semilir berhembus di antara enam batang pohon beringin yang membatasi jalan setapak dengan kebun karet di seberang. Senja belum jatuh benar. Tapi seperti biasa, kami betah berlama-lama di sini. Kendati memang, terkadang ada rasa takut membelit, manakala melihat pohon raksasa dengan juntaian tangan tak terhitung itu.
Kami membayangkan juntaian tangan itu membelit tubuh kami. Mengangkat kami ke atas, dan semakin ke atas. Lalu, memeluk erat, hingga kami menjelma batang dan terbenam di dalam rongganya.
Telah kami dengar cerita tentang pohon-pohon itu. Pohon yang ditanam kakek. Pohon ajaib yang kata orang kembaran Sampean.Â
Sampean itu adalah nama ayah kami---maksudku ayahku dan Iqbal. Dulu, bila pohon-pohon beringin tumbuh cepat dan segar, demikian pula ayah tumbuh cepat dan segar. Bila ayah tiba-tiba sakit, pohon-pohon beringin itu ikut sakit. Daun-daunnya menguning. Batangnya kurus-kering. Dan bila ada orang yang berteduh di bawahnya, hawa bukan bertambah sejuk, melainkan bertambah panas, seperti panas demam yang ayah alami.
Itulah yang menyebabkan kakek berjuang sekuat tenaga menjaga pohon-pohon beringin itu. Apalagi karena pernah seseorang iseng menyabet juntain tangan sebatang pohon beringin dengan parang. Akibatnya ayah terjatuh saat menaiki tangga rumah. Tangan ayah patah. Kakek buru-buru membawa ayah ke tukang urut. Lalu dia melanjutkan menyambung juntaian tangan pohon beringin yang putus itu dengan potongan yang tergeletak di atas tanah.
Ajaib sekali, ketika tangan ayah sembuh sebulan kemudian, juntaian tangan pohon yang putus itu, tersambung lagi seperti sediakala. Maka sejak itu semakin awaslah kakek terhadap keberadaan pohon-pohon beringin itu.Â
Berita tentang ayah memiliki kembaran pohon beringin, menyebar dari mulut ke mulut. Jadi, tak hanya keluarga besar kakek yang menjaganya, juga seluruh orang kampung. Kendati kemudian ada orang yang pernah bunuh diri di sebatang pohon itu dengan menjeratkan juntaian tangan di leher, orang kampung tak bisa berbuat banyak kendati ingin menebang dan menganggapnya muasal masalah.Â
Lalu, tiga orang menyusul memanfaatkan pohon-pohon itu sebagai tempat aman melakukan ritual bunuh diri. Orang kampung tetap tak bisa berbuat banyak, kecuali menganggap pohon-pohon itu menjadi sangat angker dan menyeramkan. Kalau tak ada teman, tak seorang pun yang berani menyadap karet di kebun seberang pohon-pohon beringin itu.
Akan hal kami, mulanya ngeri melihat daun-daun pohon beringin yang seperti mencakar angkasa. Tapi sehari demi sehari, ketika kami semakin mendekatinya, seolah ada magnet yang menarik kami merapat. Iqbal mula-mula yang bercerita tentang hubungan ayah dan pohon-pohon beringin itu. Lalu beberapa teman mengatakan, pohon-pohon beringin itu berotot dan gagah seperti ayah. Terlihat seram, tapi bila didekati, bermata teduh dan menenangkan.
Kami sering berayun di juntaian tangannya, melolong-lolong serupa monyet berayun dari dahan ke dahan. Aku pernah mengajuk ingin berayun di tangan ayah seperti berayun di juntaian tangan pohon beringin. Ayah tertawa. Tapi ayah tetap mau melakukannya, hingga aku merasa seperti berayun di tengah hutan, disiram udara segar melenakan.
* * *