Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kain Putih

17 Maret 2019   09:44 Diperbarui: 17 Maret 2019   10:16 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rokian seperti kebakaran jenggot ketika menerima surat Emak nun jauh di dusun pinggiran Sumatera Selatan. Buru-buru Rokian menelepon Piah yang menetap di Plaju, kemudian menelepon Bibah di Kertapati. 

Seperti yang dialami Rokian, dua saudaranya itu mengalami nasib sama; seakan kebakaran jenggot. Buru-buru mereka menuju rumah Rokian di daerah Perumnas. Tak pelak lagi, semua cemas. Demi langsung menemui Emak di dusun, tentu  harus dipikirkan masak-masak. Baru sebulan lebih mereka bertandang ke sana. Mau menelepon, manalah ada telepon di dusun. Kendati pun ada, Emak tak bakalan bisa menggunakannya.

Piah yang lebih dulu sampai di rumah Rokian. Disusul Bibah dengan rambut bak padi terbakar. Apalagi kalau bukan lantaran mamang ojek yang mengebut melintasi pagi yang redup. Rokian menyambut dua tamunya tak seperti biasa. 

Misalnya menyuruh istrinya menghidangkan es teh manis dan panganan ala kadarnya. Dia hanya menghempaskan pantat di sofa. Matanya nanap menatap langit-langit rumah. 

"Jadi benar Emak minta kain putih, Kak?" Piah langsung nyerocos. Bibirnya maju sekian milimeter. Ya, selain karena nyerocos, dari dulu sudah dipatenkan bahwa giginya memang maju. 

"Bacalah!" Rokian mengangsurkan surat Emak kepada Piah. Bibah yang berbadan drum, merapat ke dekat Piah. Dua perempuan itu saling bersitatap manakala selesai membaca surat  Emak.

Berputarlah-putarlah pikiran mereka. Teraduk-aduklah hati mereka. Berbagai terkaan merebak. Tapi semua berujung pada suatu sebab; meninggalnya Ayah lima minggu lalu. Apakah sebab itu Emak dirundung duka? Apakah sebab itu Emak berniat menyusul suaminya ke alam baka? 

Dari dulu, perempuan yang telah bersusah-payah melahirkan dan membesarkan mereka, suka sekali berbuat yang aneh-aneh. Pernah sekali ketika kucing kesayangannya tercebur ke kolam ikan dan mati, Emak sehari-harian berendam di kolam ikan itu seolah ingin mati. 

Ketika kambing kesayangannya disembelih untuk kurban, dia tiba-tiba menghilang. Orang sedusun sibuk mencari. Eh, ketemunya di kandang kambing dengan mulut manyun dan air muka tak sedap. Maksudku tak sedap baunya; bau kambing!

"Apakah Emak ingin menyusul Ayah?" Serentak Piah dan Bibah melempar tanya entah kepada siapa.

"Itulah yang kutakutkan!" Rokian membalas seolah yakin bahwa dialah yang ditanya dua adiknya itu.

"Apakah Emak akan bunuh diri? Mencebur ke kolam? Minun racun tikus?" Piah nyerocos.

"Husss! Ngomong kok ngawur!" Rokian melotot.

Sejenak hening. Bukan sebab mereka sedang gulana. Melainkan istri Rokian menghidangkan dua piring pempek dos dan semangkuk cuko yang kental. Plus es doger tiga gelas yang mengundang selera. Bagaimanapun, risau terlerai. Piah dan Bibah reflek seolah berebut ketika Rokian mempersilahkan menyantap hidangan ala kadarnya dengan mimik wajah dan ujung bibir yang monyong.

Perbincangan kemudian semakin alot. Pertama diputuskan Rokian yang pulang melihat Emak tanpa membawa kain putih. Tapi mengingat Emak meminta sangat kain putih itu, diputuskanlah  Bibah membelinya ke Pasar 16 Ilir, sekalian ikut mudik bersama Rokian. Piah tak mau ketinggalan, ngotot ikut juga.

"Ini seperti mudik lebaran jadinya!" gerutu Rokian. "Kantongkulah yang bakalan koyak."

"Nah, kalau Emak tiba-tiba tak berumur panjang, aku tak bisa melihatnya lagi." Piah manyun.

"Husss!" Rokian langsung masuk ke kamarnya.

***

Perjalanan yang melelahkan. Pikiran dan hati yang berkecamuk tentang nasib Emak, tak lagi membuai. Piah terlalu sibuk dengan perutnya yang melonjak-lonjak. Sudah tiga kantong kresek muntahan antara Palembang dan dusun Emak. Sementara Bibah selalu merutuk. 

Bau durian masam, bahan baku tempoyak, mengoyak seisi bus. Entah siapa yang membawanya. Belum lagi bau minyak angin, parfum murahan, ketiak, seakan merobek-robek hidung dan menggunting seluruh bulu hidung Bibah. 

Lain pula dengan Rokian, hanya tertidur pulas. Dia memang sudah meyakinkan adik-adiknya agar tak ikut mudik. Karena pilihan terakhir mudik adalah dengan menumpang bus, setelah sedan buruk Rokian sebenar merajuk.

Dalam tidurnya, Rokian melihat ramai orang di rumah Emak. Hatinya sekejap risau. Benarkah Rokian sudah terlambat menyerahkan kain putih kepada Emak? Apakah orangtuanya itu sudah lebih dulu meninggalkan alam fana ini? Rokian melihat Munah, pembantu setia Emak, menangis di atas tangga kayu. 

Dari mulut Munah-lah dia tahu kalau Emak sudah meninggal. Sontak Rokian menangis, dan langsung terbangun. Dia melihat Piah yang duduk di sebelahnya, ikutan menangis. Duhai, apakah Emak memang sudah meninggal? Pikir Rokian.

"Kenapa kau menangis?" Rokian bertanya halus kepada Piah.

"Kakiku Kakak injak!"

"Oh..."

Puas dengan suka-duka naik bus, dilanjutkan naik omprengan desa melintasi jalan yang berbatu dan berlobang-lobang. Hampir satu jam pikiran dilanda kacau. Akhirnya pucuk atap rumah Emak terlihat sudah. Tak sabarlah tiga pasang kaki itu menginjak tanah dusun. Berebutlah mereka melalui pintu omprengan yang sempit. Penumpang lain merepet. 

Mereka, tiga kakak-beradik, bergeming. Hingga teriakan kernet yang mengatakan ada barang yang tinggal, barulah mereka tersenyum malu-malu sambil mengambil barang itu.

Rumah Emak sepi. Di atas tangga kayu, Rokian melihat Munah duduk menangis. Berdebarlah hati tiga kakak-beradik ini. Syakwasangka menggejolak. Bisa jadi Emak sedang sakit dan sekarat. Bisa jadi waktu Emak sudah sampai. 

"Emak tak kenapa-kenapa, Munah?" Rokian mengguncang bahu perempuan yang tak tamat esde itu.

"Kenapa, Kak? Emak sehat-sehat saja. Aku menangis karena sedang mengupas bawang. Kakak tak lihat?" jawab Munah. 

Seraut wajah yang berbinar pun muncul di ambang pintu. Wajah Emak.

"Lho, kok tiba-tiba mudik semua? Mana cucuku?" Emak langsung memeluk ketiga anaknya tanpa merasa bersalah telah membuat mereka cemas.

"Kami mencemaskan Emak. Di surat Emak, Emak meminta kain putih. Jadi kami takut kalau-kalau Emak..." Rokian tak sampai hati melanjutkan omongannya.

"Siapa yang meminta kain putih?" Emak membelalak.

"Lho, di surat itu?" Kali ini Piah yang membalas.

Emak menoleh ke arah Munah. "Kau menulis kain putih di surat itu ya, Munah?"

Munah menatap Emak dengan mata bersimbah air mata. "Iya, Mak. Emak kan meminta dikirimi Kak Rokian Ihram? Ihram itu kata Emak adalah kain putih. Munah tak bisa menulis kata-kata ihram. Jadi Munah tulis saja kain putih."

Rokian dan dua adiknya saling pandang. Meski kecewa telah berdag-dig-dug dengan berita yang dikabarkan surat Emak, akhirnya hati mereka lega sebab tak ada kejadian yang merisaukan hati.

"Ihram itu akan Emak hadiahkan kepada Ihsan yang tiga bulan lagi berangkat ke tanah suci."

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun