Dalam tidurnya, Rokian melihat ramai orang di rumah Emak. Hatinya sekejap risau. Benarkah Rokian sudah terlambat menyerahkan kain putih kepada Emak? Apakah orangtuanya itu sudah lebih dulu meninggalkan alam fana ini? Rokian melihat Munah, pembantu setia Emak, menangis di atas tangga kayu.Â
Dari mulut Munah-lah dia tahu kalau Emak sudah meninggal. Sontak Rokian menangis, dan langsung terbangun. Dia melihat Piah yang duduk di sebelahnya, ikutan menangis. Duhai, apakah Emak memang sudah meninggal? Pikir Rokian.
"Kenapa kau menangis?" Rokian bertanya halus kepada Piah.
"Kakiku Kakak injak!"
"Oh..."
Puas dengan suka-duka naik bus, dilanjutkan naik omprengan desa melintasi jalan yang berbatu dan berlobang-lobang. Hampir satu jam pikiran dilanda kacau. Akhirnya pucuk atap rumah Emak terlihat sudah. Tak sabarlah tiga pasang kaki itu menginjak tanah dusun. Berebutlah mereka melalui pintu omprengan yang sempit. Penumpang lain merepet.Â
Mereka, tiga kakak-beradik, bergeming. Hingga teriakan kernet yang mengatakan ada barang yang tinggal, barulah mereka tersenyum malu-malu sambil mengambil barang itu.
Rumah Emak sepi. Di atas tangga kayu, Rokian melihat Munah duduk menangis. Berdebarlah hati tiga kakak-beradik ini. Syakwasangka menggejolak. Bisa jadi Emak sedang sakit dan sekarat. Bisa jadi waktu Emak sudah sampai.Â
"Emak tak kenapa-kenapa, Munah?" Rokian mengguncang bahu perempuan yang tak tamat esde itu.
"Kenapa, Kak? Emak sehat-sehat saja. Aku menangis karena sedang mengupas bawang. Kakak tak lihat?" jawab Munah.Â
Seraut wajah yang berbinar pun muncul di ambang pintu. Wajah Emak.