Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Pecel

15 Maret 2019   15:05 Diperbarui: 15 Maret 2019   15:53 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyatanya setelah Leha minggat dari kampung itu, hama wereng tetap merajalela. Hama babi seolah beranak-pinak. Tak ada lagi alasan bagi warga menuduh siapa biang keladi paceklik yang melanda kampung mereka. Terlebih-lebih kemudian kemarau mengeringkan sumur dan memperdikit air sungai. Ya, mereka semua merasa kalah. 

Hingga kemudian kepala desa dan tetua kampung memilih mengajak warga sedekah kampung. Seorang ustadz sengaja diundang dari desa lain untuk memberikan wejangan agar warga tabah menghadapi semua cobaan.

"Kaum muslimin dan muslimat." Ustadz yang biasai dipanggil Ki Laman, memulai wejangannya di lapangan balai desa. "Saya sudah mendengar dari bapak kepala desa tentang kondisi sawah dan ladang di kampung ini. Kita semua pasti berpikir bahwa ini adalah teguran dari Allah atas kesalahan kita." Dia menarik dan melepaskan napas sebentar. "Ya, kita memang salah. Saya tahu dari kepala desa bahwa belasan lapau yang selalu dipenuhi para lelaki, tegak di kampung ini. Juga kedai-kedai sampah yang dirubung ibu-ibu. Bagaimanapun budaya yang tercipta adalah ngerumpi, menjelek-jelekkan orang lain. Bahkan warga di sini tak bosan-bosannya membuat gosip tentang penjual pecel. Hingga penjual pecel itu minggat karena tak ingin diusir paksa."

"Maaf, Ki Laman," sela istri Pak Kurlian tak senang. "Kenapa harus dikait-kaitkan dengan Leha?"

"Coba saya tanya, adakah yang pernah melihat penjual pecel itu berbuat tidak senonoh di kampung ini?"

"Tidaaak!"

"Lalu, kenapa berhari-hari kita senang menggosipkannya? Ingatlah, Allah tak senang hambanya berghibah. Membincangkan tentang perbuatan buruk orang lain, meskipun itu benar, tak boleh. Apalagi yang kita perbincangkan itu jatuh menjadi fitnah. 

Mungkin tabiat berghibah di kampung ini yang menyebabkan Allah mengirimkan hama yang meluluhlantakkan sawah dan ladang, agar kita sadar atas kekeliruan ini. Percuma kita mati-matian beribadah kepada Allah, tapi hubungan ke sesama manusia tak baik. Allah dengan begitu mudah menerima tobat hamba-nya. Apakah mudah bagi kita meminta maaf kepada orang yang kita sakiti? Maaf di mulut bisa diadakan. Maaf di hati siapa yang tahu."

Penduduk terpana. Ghibah yang tampak sepele, ternyata bisa mendatangkan bencana bagi mereka. 

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun