Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Pecel

15 Maret 2019   15:05 Diperbarui: 15 Maret 2019   15:53 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siapa yang jatuh cinta? Tak ada itu!" Pak Kurlian menatap istrinya. "Jangan selalu menyalahkan orang yang belum tentu bersalah. Perkara banyak laki beristri yang bertandang ke warung, bahkan ke rumah Leha, toh itu bukan salah Leha. Aku tahu Leha sudah sering mencoba menjaga jarak dengan mereka. Tapi tak bisa! Laki-laki di kampung ini saja yang memang tak ada pikiran!"

"Darimana Bapak tahu kalau Leha sering mencoba menjaga jarak dengan mereka? Bapak pasti pernah berbincang dengannya. Kapan, Pak!"

Pak Kurlian terdiam. Dia bagaikan terkena skak mat!

* * *

Tak ada lagi kesempatan bagi Leha menarung hidup di Kampung Saoto. Jangan kata bisik-bisik tetangga, para perempuan kampung pun sudah terang-terangan ingin mengusirnya.

Mereka berembug di balai desa saat Leha baru saja membuka warung pecelnya. Tetua kampung dan kepala desa yang tak ingin dicap ibu-ibu dan sebagian para gadis itu memihak kepada si janda kembang, terpaksa menuruti menggelar rapat darurat. Balai desa penuh sesak. Beberapa pemuda kampung berjaga-jaga agar tak terjadi keributan. 

Leha merasa tak enak hati. Ketimbang diusir paksa dari kampung itu dengan teriakan-teriakan bahkan pamflet-pamflet, dia memilih kabur lebih dulu. Segera dia menemui Mirza, si pemilik mobil pick up satu-satunya di kampung itu. Seluruh barang-barang berharga yang ada di warung pecel, juga di rumah kontrakannya, diangkut ke bak mobil pick up. Leha kemudian memilih menuruti ajakan Juragan Marjan, membuka usaha rumah makan di ibukota kecamatan. Entah ajakan itu ada maksud lain, semisal Marjan ingin menjadikan Leha sebagai istri kedua, Leha tak perduli. Yang penting dia tak ingin malu diamuk massa Kampung Saoto.

"Akhirnya dia angkat kaki juga dari kampung kita. Syukurlah!" Istri Pak Kurlian nyerocos terus sejak maghrib.

Pak Kurlian hanya membisu sambil meraut bambu untuk dijadikan layang-layang. Usaha sampingan yang dilakukannya beberapa hari ini, sejak dia menganggur karena tak ada ajakan memburuh di sawah atau ladang orang lain.

Mengenai Leha, seiring waktu berlalu, mulai kerasan di ibukota kecamatan. Beruntung sekali Juragan Marjan tulus membantunya. Apalagi sejak Leha ikut mengelola rumah makan itu, pengunjung bertambah ramai. Rasa pecel buatan Leha itu lho yang membuat orang ketagihan!

Sementara di Kampung Saoto, orang-orang mulai merasa kehilangan sesuatu. Ya, apalagi kalau bukan rasa pecel Leha yang nikmat. Para lelakinya konon lebih kehilangan lagi. Mungkin karena ada rasa cinta yang terpendam di dalam hati. Bahkan kepala desa yang sudah menduda hampir empat tahun berselang, sebenarnya menyimpan maksud ingin memperistri Leha. Itulah mengapa dia mengontrakkan sebuah rumahnya kepada perempuan itu. Itulah mengapa dia menerima berapa saja sewa kontrakan dari Leha. Ya, bagaimanapun dia terpaksa menuruti kehendak warga untuk mufakat mengusir perempuan itu. Apalagi kemudian susul-menyusul sawah dibantai hama wereng, ladang diluluhlantakkan hama babi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun