Sejak kehadiran Leha, yang kemudian membuka warung pecel di dekat balai desa, kontan beberapa lelaki kampung menjadi doyan pecel. Menjadi doyan nongkrong di warung pecel. Seharusnya toh, mereka nongkrong di lapau-lapau kopi. Warung pecel biasanya dirubung perempuan sambil ngerumpi. Tapi yang namanya wangi kembang, tak ke mana. Hidung kumbang sangatlah tajamnya, tergoda sekuntum kembang.
Ada tercatat empat lelaki beristri yang mengalami pertengkaran dalam rumahtangganya lantaran Leha. Sebut saja, Mudin. Lelaki bertubuh jangkung itu, setiap kali matahari mulai terbit, selalu muncul di halaman balai desa. Entah apa yang dia lakukan di situ. Warung pecel Leha saja belum buka. Tapi setelah Leha datang dengan barang bawaan lumayan berat, tahulah kita tujuan Mudin. Dia pura-pura sibuk membantu. Pura-pura menggoda anak-anak Leha. Bahkan kalau Leha ketinggalan sesuatu di rumahnya, Mudin dengan sangat senang membantu mengambilkannya.Â
Mudin sampai lupa bekerja. Sampai lupa makan siang. Sas-sus busuk yang kemudian berseliweran dari mulut ke mulut kaum perempuan, membuat istri Mudin panas hati. Dia memarahi Mudin habis-habisan. Dia mengancam akan meminta cerai jika Mudin tetap penggatal. Akhirnya Mudin tak kunjung lagi terlihat di warung pecel Leha. Kendati sekali-sekali, dia diam-diam menemui Leha di pasar kecamatan. Katanya sekadar ingin membantu apa-apa yang bisa dibantu.Â
Nasib penggatal Rohim lebih parah dari yang dialami Mudin. Selain karena bosan melihatnya menganggur terus, kegilaannya kepada Leha membuat istri Rohim ngamuk serupa banteng yang terluka. Sifat penggatal Rohim dijadikan sang istri sebagai pemicu meminta cerai. Sekarang Rohim luntang-lantung karena istrinya minggat dari rumah. Tapi kondisi demikian semakin memudahkan Rohim melihat Leha sepuas hati.
Asan dan Ribang, lain lagi. Puas diomeli istri, mereka dipaksa memburuh di ibukota kecamatan. Biarlah memburuh, ketimbang sakit hati melihat tabiat mereka yang keranjingan sosok Leha. Walaupun dua penggatal itu masih menggatal di ibukota kecamatan, toh tak terlihat di mata, tak terbetik di telinga.
Kasihan Leha. Bukanlah dia janda penggoda. Dia hanya menjalani hidup sesuai kemampuannya. Memangnya salah menjanda itu? Kalau dia berjualan pecel, apa itu salah? Kalau dia ramah kepada pembeli, itu kan keharusan! Bagaimana mungkin jualannya bisa laku kalau bibirnya terlipat terus. Manyun! Apa ada orang yang betah membeli dagangannya jika ditegur saja membisu? Berhias dan rapi pun keharusan dalam berdagang. Orang yang jorok apalagi bau, konon akan ditinggalkan pembeli. Orangnya saja jorok dan bau, apalagi barang dagangannya.
* * *
Apa yang diucapkan istri Pak Kurlian tentang si janda Leha, Â dibincangkan pula oleh rata-rata perempuan di kampung itu. Tak terlalu sering memang. Perbincangan itu hanya karena gatal mulut saja. Namun setelah hama wereng dan babi hutan mengoyak mimpi mereka, cerita tentang Leha semakin sering diumbarkan. Seperti mengunyah kripik ubi saja. Leha dituduh sebagai biang masalah. Dia yang mengotori kampung dan membuat Tuhan marah. Itu artinya harus diadakan bersih kampung. Artinya pula tak jauh-jauh, Leha harus angkat kaki dari situ.
"Harusnya! Kalau tak begitu, apa Bapak siap kelaparan!" Istri Pak Kurlian langsung memotong ucapan suaminya yang seolah membela Leha. "Kita memang harus mengusirnya!"
"Apa yang diperbuatnya, coba?" Pak Kurlian sama sekali tak perduli amarah istrinya yang mengelegak. Sejak pulang dari kedai sampah Bu Bariah, dia uring-uringan terus. Konon sekarang suaminya seakan membela Leha. Bisa jadi Pak Kurlian menaruh hati kepada perempuan itu. Dasar tua-tua keladi! Anak sudah mau menikah, kelakuannya malah menjadi.
"Bapak ini, apa sudah jatuh cinta kepada Leha!" Suaranya menggelegar.