Kau pasti tak mengira dia seorang seniman. Penampilannya nyaris menipu setiap orang. Dia tinggal di rumah mungil, bersih dan dipenuhi bunga mawar. Dia tinggal bertiga bersama istri yang cantik, santun dan berjilbab, dan anak perempuan berumur dua setengah tahun.Â
Potongan rambutnya, sama sekali berbeda jauh dengan rambutku. Rambut lelaki itu selalu dipotong pendek, tertutup topi haji. Bajunya putih bersih, berlengan panjang. Dia lebih sering tak mengenakan celana panjang di rumah, selain sarung tentunya.
Sedangkan aku, ah... hanya seorang seniman kacangan. Lagakku melebihi seniman sungguhan. Aku tinggal di kamar kontrakan kumuh. Dinding-dinding kamar dipenuhi segala carut-marut puisi dan sumpah serapah. Kertas berhamburan, centrang-prenang, bertimpa dengan sebuah mesin tik merk brother.Â
Rambutku panjang, gimbal seakan menjadi tempat peternakan kutu. Gigiku banyak yang rompal serupa dijebol maling. Mulutku, ladalah! Hitam legam bagai habis dihantam pukulan Mike Tyson. Apalagi? Hahaha, aku berkoar seperti sampah.Â
Tapi karya yang kuciptakan tak ada, selain pembungkus kacang goreng. Apa yang kukoarkan tak lebih asap. Ketika angin bertiup, langsung tersapu entah ke mana.
Karena itu, setelah bersua lelaki yang sering kupanggil Abi, aku serupa kertas yang menemukan sampulnya. Aku sering bertandang ke rumahnya, meski hanya disuguhi senyum dan air putih dan buah-buahan segar. Aku merasa dialah pencarian hidupku selama ini.Â
Dialah yang menemukanku dengan apa gunanya aku terlahir dan melata di jagat ini. Kemudian mati untuk dikenang. Â Bukan untuk ditendang. Seperti pagi ini dia menemuiku dengan wajah bersih usai shalat dhuha.
"Pagi Maliki. Kenapa merenung terus? Biasanya pagi-pagi begini, kau bicara banyak." Abi menegurku.
"Begini, Bi. Aku bingung, kenapa teman-teman sesama seniman selalu berusaha menguasai proyek atas nama seni tanpa berusaha berbagi. Apalagi dengan kaum pemula seperti saya. Sehingga yang dikenal orang hanyalah mereka-mereka itu. Mereka sengaja menasbihkan dirinya menjadi terkenal, hebat! Padahal, apa yang mereka lakukan belum sebaik, misalnya, yang aku lakukan."
Abi tertawa. Dia menepuk pundakku. "Itulah namanya bahwa setiap manusia itu tak pernah bisa bersikap saling mencintai. Di mulutnya saja yang bengkak mengumbar cinta sesama manusia. Sehingga ada yang namanya HAM, atau segalanya, yang kerapkali tak bisa menyelesaikan apa yang disebut permusuhan."Â
Dia menarik napas berat. Dihelanya lengan baju, lalu mencomot sepotong ubi goreng di atas piring. Kali ini ada yang berbeda. Hidangan untukku tak lagi buah-buahan segar, melainkan gorengan. Leherku terasa dicekik. Aku tentu tak bisa menikmati gorengan itu, karena aku sedang panas dalam.