Aku tak mau menjawab. Setelah beranjak pergi meninggalkannya, Mahmud hanya terlongo. Dia mendecak. Menepis-nepis angin dengan telapak tangannya. Selanjutnya berjalan berlawanan arah denganku.
Sungguh, bukannya aku sangat naif tak mau melihat kondisi keluarga Abi di polda. Aku hanya takut mandul menahan emosi. Aku takut mencak tak karuan di sana, yang bisa-bisa membelokkan dugaan aparat, bahwa aku juga terlibat sebagai pelaku pengeboman itu.
Ah, kutatap remang senja yang merapat. Kutendang sebuah kaleng rombeng yang menghalangi langkah ini. Benar-benar sebuah kelucuan. Kenapa seorang alim yang kukenal, dicurigai pelaku pengeboman.Â
Apa salahnya orang berpeci haji, bersarung, berwajah putih-bersih dan berjenggot tipis, selalu menjadi sasaran kebuntuan akal orang-orang itu? Apa salahnya berpenampilan agamis, sehingga untuk keluar masuk dan dalam negeri  mesti diperiksa ekstra ketat? Apakah mereka bajingan yang harus ditakuti dan dibasmi? Bukankah orang sepertiku yang harus dicurigai? Lelaki urakan, berambut gondrong-gimbal, kulit wajah tak rata, tatap mata liar. Ach, dunia ini memang aneh!Â
Sepintas kulihat bayangan wajahku di permukaan comberan. Sepertinya berpuluh bulan wajah itu tak disentuh air wudhuk.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H