Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Abi

15 Maret 2019   08:25 Diperbarui: 15 Maret 2019   08:34 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lanjutnya, "Misalkan kau duduk bersama  teman-teman yang kau katakan saling sayang-menyayangi. Lalu kau sedang lapar berat dan membeli hanya sebungkus nasi rendang. Maka siapa saja yang mendekat di antara mereka, kau anggap musuh. Kau anggap mengurangi jatah makanmu. 

Hingga ketika merasa baru kenyanglah kau bisa beramahtamah lagi dengan mereka. Tapi mengenai proyek seni atau apalah yang ujung-ujungnya duit, tak memiliki rasa kenyang. Sebab tempatnya bukan di perut yang memiliki over limit, tapi mempunyai tempat yang sangat luas, seluas jagat raya. 

Nah, berbeda bila cinta dan kasih sayang itu tulus. Misalnya, ketika kau belum menyuapkan nasi ke mulutmu, tiba-tiba sang pacar idola datang. Kau pasti seketika merasa kenyang. Nasi rendang itu kau relakan  buat pacar tercinta."

"Kalau istri yang datang, bagaimana, Abi?"

"Lihat kondisinya dulu. Kalau istri yang baru kita dinikahi belum sampai tiga bulan, mungkin kita masih rela berbagi dengannya untuk sebungkus nasi rendang. Tapi kalau sampai berbilang bulan atau tahun, kebanyakan lelaki mulai menganggap istrinya musuh, meski di mulut tetap cinta. Buktinya, di rumah katanya bokek, tapi di luar bisa membayari perempuan lain berpinggan bistik." Dia tertawa.

"Jadi, bagaimana caranya?"

Abi menatapku. "Jadi cintailah apa yang bisa kau kerjakan. Jangan melihat orang, mengapa bisa begini, mengapa harus begitu. Ketika kau mencintai pekerjaanmu, misalnya menulis, maka kau hanya merasakan kenikmatan,plus materi hanya sebagai bonus. Bukankah kenikmatan itu tak bisa dihargai dengan uang?"

"Ya, benar juga, Bi. Berarti apa yang kita butuhkan sekarang adalah cinta tulus ya, Bi?" tanyaku. Dia mengangguk.

"Cinta tulus untuk berbagi!" tekannya.

* * *

Sudah seminggu ini aku tak bertemu Abi. Ke rumahnya, hanya sepi yang menyambutku. Penjual es sop buah yang mangkal tak jauh dari rumahnya mengatakan, dia mudik ke Jawa. Mau melihat keponakannya menikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun