Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Barang Temuan

12 Maret 2019   08:20 Diperbarui: 12 Maret 2019   08:39 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sugik tersentak. Matanya membola melihat benda itu. "Bu, ini punya siapa?" jeritnya. Seorang perempuan yang masih mengenakan mukena, menyibak tirai pintu. Perempuan itu tersentak. Matanya berbinar melihat benda itu.

* * *

Sugik bukanlah seorang haji, kendati peci haji selalu melekat di kepalanya. Dia bukan pula orang yang mumpuni tentang seluk-beluk keagamaan, tapi selalu berlaku jujur kepada pembeli. Kata istrinya, kejujuran Sugik-lah yang mungkin membuat warung mereka tak berubah seperti toko milik Haji Kusnen. Padahal Sugik lebih dulu memiliki warung ketimbang si haji itu. Ya, batin Sugik berkilah, mungkin karena perkara modal saja yang membuat usaha Haji Kusnen lebih maju.

"Ya, bolehlah kalau soal timbang-menimbang barang jualan, kita sejujuran, Kak!" Pernah istrinya protes. "Tapi masalah keuntungan, jangan terlalu mepet."

"Kita jangan banyak mengambil keuntungan dari jualan, Dek. Yang wajar-wajar saja. Meskipun kecil begini, tapi pembeli tak putus-putus, kan?"

Tapi perkara benda itu, istri Sugik tak mau mengalah. Dia langsung mengambil benda itu dan memasukkannya ke balik mukena.

"Tak baik, Dek. Itu amplop, lihat dulu isinya!" Bibir Sugik bergetar. 

Istrinya menjauh. Dia membuka lipatatan amplop dan melihat isinya. Seketika dia menjerit tertahan. Sugik buru-buru memalang pintu warung dengan kayu. Ditariknya tangan sang istri ke dalam rumah.

"Jangan ribut, Dek. Diam-diam saja." Wajah Sugik pias.

"Nah, kali ini aku setuju dengan Kakak. Begitulah kalau mau jadi kaya. Barang ini tak tahu siapa empunya. Kebetulan kita yang dapat, maka kitalah yang memilikinya." Mata istri Sugik seperti akan melompat dari sarangnya. "Masya Allah. Tebal sekali. Masih rapi dan wangi. Nah, ini ada tiga ikatan. Tiap ikatan tertulis lima juta. Berarti...."

Sugik lekas menarik amplop serta uang itu dari tangan istrinya. "Diam-diam saja, maksudku jangan sampai ada orang yang dengar. Nanti malahan mereka mengaku-aku kalau uang ini punya mereka. Yang penting uang ini kita simpan. Kalau ada yang mencari-cari, dan ternyata  jumlah uang itu cocok dengan yang dia bilang, maka orang itu pemiliknya."

Mulut perempuan itu meruncing. "Kakak ini, selalu yang dicari pahala. Selalu ingin beramal. Mana bisa kaya, Kak!" Dia memunggungi suaminya yang langsung salah tingkah.

"Kakak bukannya mau mencari pahala atau beramal. Kakak cuma kasihan kepada pemilik uang ini. Coba kalau kita yang kehilangan uang lima belas juta. Apa kita tak sampai kelabakan? Dek, segala sesuatu itu harus ditarik ke diri kita. Apa rasanya enak, apa rasanya sakit. Jadi, hidup kita bisa tenang ."

Meskipun menuruti kata-kata Sugik, perempuan itu menjadi pendiam. Dia tak lagi senang bercanda, selain pura-pura asyik menonton sinetron di tivi yang sesungguhnya tak disukainya. Atau dia memilih tidur dan membiarkan Sugik mengurusi warung sendirian. Sugik yang merasa benar---tapi tetap merasa bersalah karena membuat istrinya ngambek---hanya bisa mengelus dada. Dia sudah berjuang sepanjang hidupnya untuk berlaku jujur. Kenapa perkara uang di amplop itu, dia harus gelap mata dan menyimpang dari komitmen? Ibarat kemarau setahun, habislah dilantak hujan sehari.

* * *

Sugik terkejut. Dia mengaduh karena kepalanya terantuk kusen pintu. Apa pasal pula siang-siang begini istrinya berteriak-teriak seperti Tarzan.

"Ada apa?" tanyanya sengit

Istrinya datang dengan mata berbinar. "Itu, Kak. Di depan ada orang yang sedang mencari barang yang hilang. Mungkin yang punya uang itu."

"Terus apa yang kau bilang?" Kepala Sugik masih pening.

"Belum bilang apa-apa. Kakak saja yang menghadapinya." Istri Sugik mengekori suaminya ke warung. Seorang lelaki berwajah pucat, sedang memelototi sekitar depan warung Sugik. 

Ya, Sugik ingat sekarang. Lelaki itu tadi pagi singgah di warungya. Kalau tak salah membeli tiga batang rokok. Tapi Sugik tak mau gegabah. Dia harus lebih teliti, jangan sampai uang itu jatuh ke tangan orang yang salah.

"Cari apa, Mas?" tanya Sugik ramah. 

"Oh, anu!" Lelaki itu masuk ke dalam warung Sugik. "Saya kehilangan barang. Anu, tadi pagi mungkin terjatuh dari tas saya."

"Barang apa kira-kira, Mas?" Istri Sugik mengambil-alih omongan.

"Uang, Bu. Saya memang tak menghitungnya. Tapi tadi, kata bos saya, jumlahnya lima belas juta, gitu. Wah, saya pasti kena damprat habis nih. Bagaimana saya bisa menggantinya?" Dia mengelap kening. Wajahnya semakin pucat.

Sugik masuk ke dalam rumah. Istrinya mengekor. Istrinya berceloteh panjang-pendek. Mewanti-wanti ini-itu. Tapi Sugik pura-pura tak mendengar. Uang yang masih dalam amplop, dia bawa keluar.

"Saya memang menemukannya. Tadi di lantai warung. Isinya memang cukup. Lima belas juta. Tak saya kurangi. Iya kan, Dek?" Yang dipanggil Adek pura-pura berwajah manis. Dalam benaknya, kendati tak jadi memiliki uang lima belas juta, dapat persenan saja, lumayanlah.

Lelaki itu sumringah. Wajahnya yang tadi pucat, sedikit memerah. Dia tak berhenti-hentinya mengucapkan terima kasih banyak. Kemudian sebelum melangkahkan kaki keluar warung, dia ragu-ragu---seperti malu---lalu mengambil dompetnya.

"Sebagai ucapan terima kasih saya...."

"Oh, tak usah Mas. Biarlah, Mas bawa saja uang itu. Uang itu bukan hak saya. Tenaga saya juga tak sampai terkuras untuk mengambilnya di lantai dan menyimpannya." Sugik meringis. Si istri menginjak keras jempol kaki kanannya.

"Tapi....." Lelaki itu tak enak hati. Sugik tahu kalau orang itu hanya pekerja. Bisa jadi penghidupannya masih lebih melarat dari Sugik. Kasihan, kalau dia memberi persenan kepada Sugik dari isi dompetnya sendiri. Bagaimana dengan anak-istrinya? 

Lelaki itu pergi dengan bibir yang basah oleh ucapan terima kasih banyak berkali-kali.

* * *

"Kakak ini bagaimana? Rejeki kok ditolak!" gerutu istrinya. Sugik sedang asyik mencungkil gigi usai makan barusan. Warung sudah ditutup. Jam dinding berbunyi sembilan kali.

"Yang itu bukannya rejeki namanya," elak Sugik.

"Tapi, Kak. Bagaimana kalau sebenarnya orang yang tadi itu hanya penipu. Kebetulan saja tebakannya tentang jumlah uang itu benar. Aku tak yakin melihat dari tampilan dan raut mukanya. Kalau sampai kita salah orang, siapa yang bakal mengganti uang sebanyak itu, Kak!" 

Sugik tiba-tiba seperti tersengat listrik. Dia mulai cemas. Bagaimana kalau dia memang salah orang? Dengan menjual seisi warung, mungkin bisalah mengganti uang sejumlah itu. Tapi bagaimana ke depannya? Mereka mau makan apa? Mereka mencari penghidupan dari mana? Tapi dia buru-buru menenangkan hati. Sepertinya mustahil orang tadi itu berbohong.

Mendadak pintu warung diketok seseorang. Sugik merasakan kembali seperti tersengat listrik. Buru-buru dia membuka pintu warung. Seorang lelaki berwajah bulat dan berbadan gemuk, berdiri di ambang pintu. Siapa dia, ya? Hatiku Sugik semakin tak nyaman. Istri Sugik menyusul ke warung dengan raut penuh tanda tanya.

"Bapak pemilik warung ini?" tanya lelaki itu.

"Benar sekali. Ada apa ya, Pak?" Sugik salah tingkah. "Mari ke dalam dulu, Pak! Tak enak berdiri terus di sini."

Setelah mereka duduk bersila di ruang tamu merangkap ruang keluarga itu, lelaki itu berkata, "Ini menyangkut uang saya yang hilang."

"Uang yang hilang?" Sugik dan istrinya serempak bertanya. Si istri melotot seperti ingin mempersalahkan Sugik.

"Iya! Uang yang hilang itu memang sudah ditemukan. Dan sebagai pemiliknya, saya ingin mengucapkan terima kasih, sekaligus....."

"Alhamdulillah! Oh, tak usah, Pak. Ini kewajiban kita untuk saling bantu-membantu." Sugik tersenyum. Istrinya meringis karena kesal tak bisa menginjak jempol kaki suaminya. Jadi orang kok terlalu baik! Batin si istri.

"Oya, saya mau tanya. Coba, apa kira-kira hal yang selalu Bapak impikan selama ini?" Lelaki itu menatap Sugik yang berulangkali memperbaiki letak pecinya.

Impian Sugik selama ini memang ingin berangkat haji. Tapi, ah! Manalah mungkin impian seperti itu diumbar dibandingkan menemukan uang yang lima belas juta itu.

"Impian saya tak ada, Pak." Kali ini Sugik tak jujur.

"Kebetulan saya bernazar untuk tahun ini akan mengajak dua orang. Ya, kebetulan pula kejadian uang hilang itu mempertemukan kita. Mungkin Ibu dan Bapak telah sejodoh dengan keinginan saya." Lelaki itu tertawa pelan.

Istri Sugik keceplosan. "Mau mengajak kami jalan-jalan ke Jakarta ya, Pak?"

Lelaki itu menepuk-nepuk pundak Sugik. "Lebih jauh dari itu. Ke tanah suci Mekkah. Melaksanakan ibadah haji."

Sugik terpana. Istrinya berurai air mata.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun