"Kakak ini bagaimana? Rejeki kok ditolak!" gerutu istrinya. Sugik sedang asyik mencungkil gigi usai makan barusan. Warung sudah ditutup. Jam dinding berbunyi sembilan kali.
"Yang itu bukannya rejeki namanya," elak Sugik.
"Tapi, Kak. Bagaimana kalau sebenarnya orang yang tadi itu hanya penipu. Kebetulan saja tebakannya tentang jumlah uang itu benar. Aku tak yakin melihat dari tampilan dan raut mukanya. Kalau sampai kita salah orang, siapa yang bakal mengganti uang sebanyak itu, Kak!"Â
Sugik tiba-tiba seperti tersengat listrik. Dia mulai cemas. Bagaimana kalau dia memang salah orang? Dengan menjual seisi warung, mungkin bisalah mengganti uang sejumlah itu. Tapi bagaimana ke depannya? Mereka mau makan apa? Mereka mencari penghidupan dari mana? Tapi dia buru-buru menenangkan hati. Sepertinya mustahil orang tadi itu berbohong.
Mendadak pintu warung diketok seseorang. Sugik merasakan kembali seperti tersengat listrik. Buru-buru dia membuka pintu warung. Seorang lelaki berwajah bulat dan berbadan gemuk, berdiri di ambang pintu. Siapa dia, ya? Hatiku Sugik semakin tak nyaman. Istri Sugik menyusul ke warung dengan raut penuh tanda tanya.
"Bapak pemilik warung ini?" tanya lelaki itu.
"Benar sekali. Ada apa ya, Pak?" Sugik salah tingkah. "Mari ke dalam dulu, Pak! Tak enak berdiri terus di sini."
Setelah mereka duduk bersila di ruang tamu merangkap ruang keluarga itu, lelaki itu berkata, "Ini menyangkut uang saya yang hilang."
"Uang yang hilang?" Sugik dan istrinya serempak bertanya. Si istri melotot seperti ingin mempersalahkan Sugik.
"Iya! Uang yang hilang itu memang sudah ditemukan. Dan sebagai pemiliknya, saya ingin mengucapkan terima kasih, sekaligus....."
"Alhamdulillah! Oh, tak usah, Pak. Ini kewajiban kita untuk saling bantu-membantu." Sugik tersenyum. Istrinya meringis karena kesal tak bisa menginjak jempol kaki suaminya. Jadi orang kok terlalu baik! Batin si istri.