Aku merasa sangat bahagia melihat kandungan istriku sudah berusia tujuh bulan. Oleh karena itu, sebagai wujud tanda syukur, sekaligus ingin bermohon agar istri dan jabang bayinya sehat-selamat, maka seperti tradisi rutin di keluargaku, selalu dirayakan dengan acara nujuh bulan. Ya, dengan mengundang beberapa sanak serta ibu-ibu tetangga dekat. Mungkin sekitar tigapuluhan oranglah. Tak lebih! Sebab dana yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari, hanya cukup menjamu tigapuluhan orang. Dengan makanan seadanya; tekwan atau model, rujak dan pempek.Â
Istriku tak kalah bahagianya. Malahan dia seperti berjibaku menyambut acara nujuh bulan itu. Hingga  terpaksa kuwanti-wanti jangan sampai terlalu capek. Dua minggu lalu, dia telah kelelahan membantu persiapan pernikahan adik bungsuku. Kalau ditambah dengan berjibaku menyambut nujuh bulan, sudah barang tentu capeknya dobel. Tapi dasar, demi kesuksesan, rasa lelah ditahankannya. Tak perduli juga dia pada ocehan Mak yang berulang-ulang menyuruh istirahat.
"Ah, cuma membantu mengupas dan mengiris-iris bawang, apa susahnya, Mak!" Dia berkilah.
"Ya, asal jangan kau ikut-ikutan mengangkat yang berat-berat. Kau sebaiknya istirahat saja." Mak masih tak selesai dengan repetannya sambil mengaron nasi.
"Tak enak Mak. Masa' pemilik acara santai-santai saja. Apa kata orang-orang?" Biasanya Mak tak lagi bermulut panjang. Dia beranjak ke dapur mengambil dandang. Sepertinya aronan nasi sudah setengah masak.Â
Kondisi istriku yang barangkali kecapekan, tak kuhiraukan lagi. Segala tetek-bengek demi kelancaran acara, telah menyita seluruh perhatianku. Dari meminjam tikar ke tetangga sebelah, sebab tikar kami banyak yang lapuk. Dari meminjam gelas-piring, sebab di rumah sudah banyak diantaranya yang gompel. Belum lagi rencana membeli ikan, tepung, buah-buahan, untuk membuat tekwan, pempek dan rujak. Wah, rasanya pusing tujuh keliling. Aku berulang-ulang menghitung persediaan uang yang pasti terus berkurang, tapi tak mungkin bertambah.Â
Ah, hanya satu harapan, uang simpananku cukup untuk mendanai seluruh biaya acara nujuh bulan. Sempat kurang, aku pasti kelabakan. Meminjam dengan Mak atau Bak, sama saja bagaikan menggali sumur di batu padas. Sampai tangan keras dan pecah-pecah, tak ada harapan munculnya mata air.
Ketika tengah asyik memindah-mindahkan meja dari ruang depan ke kamar belakang, tiba-tiba Mak setengah menjerit memanggilku. "Dalian, cepatlah dulu ke mari! Istrimu kenapa?"
Aku bergegas menuju kamar. Kulihat Mak mengurut-urut kaki istriku yang tengah meringis-ringis mengelus perutnya. "Kenapa, Salmiah? Kau sakit perut? Itulah, sudah kukatakan jangan terlalu lahap memakan mangga muda. Ingat, maagmu bisa kambuh. Ah, kau ini ada-ada saja."
"Aku tak makan mangga muda, Bang. Tanya Mak, sejak pagi, selain teh manis, tak ada minuman dan makanan lain masuk ke perut ini."
"Lalu, bagaimana bisa?" Salmiah, istriku tak menjawab. Ringisannya bertambah keras. Malahan dia sampai menggeliat-geliat. Wak Raskiah, kakak perempuan Mak, seketika ikut nimbrung. Dia terkejut melihat Salmiah meringis.Â
"Mungkin dia mau melahirkan," katanya.
"Tak mungkin! Umur kehamilannya baru tujuh bulan," jawab Mak.
"Bisa saja. Coba, maaf, lihat selangkangannya. Adakah berair atau berbercak darah," lanjut Wak Raskiah.
Mak langsung memeriksa ke dalam kain sarung istriku. Seketika dia menjerit. Dia mengatakan istriku benar akan melahirkan. Maka aku pun panik. Segala maksud untuk berbelanja bahan makanan dan minuman ke pasar, terpaksa dibatalkan. Apa gunanya menyelenggarakan acara nujuh bulan, sementara si jabang bayi sudah memaksa mau keluar dari rahim ibunya.
Cepat-cepat kuambil tas, lalu mengisinya dengan pakaian untuk keperluan calon bayi, juga berberapa lembar baju Salmiah, berikut masing-masing setengah lusin pakaian dalam. Kami semua panik, apalagi beberapa tetangga yang ingin membantu keperluan acara nujuh bulan, sudah berdatangan. Aku terpaksa meminta mereka pulang, sekaligus mengabarkan kepada para undangan tentang batalnya acara itu.
Tujuan pertama demi pertolongan persalinan Salmiah, tak lain adalah mendatangi Bidan Ratna. Dialah satu-satunya bidan yang mengurusi persalinan di dusun kami. Kalau ingin ke kota, selain jauh, juga butuh ongkos taksi yang mahal. Lagipula, kelak perlu dana cukup banyak untuk membayar semua biaya rumah sakit.
Tak sampai seperempat jam, kami sampai ke tempat praktek Bidan Ratna. Dia menerima kami dengan setengah marah. Sebab dia sedang sibuk mempersiapkan acara ulang tahun anakknya yang keempat tahun. "Kenapa tak dibawa ke rumah sakit? Aku sebentar lagi ada acara."
"Kami tahu, Bu. Tapi tolonglah istriku. Dia hampir melahirkan. Ibu tak kasihan melihatnya? Lagipula keluarga kami sudah sering dibantu ibu untuk melahirkan."
Dia tak menjawab. Wajahnya memberengut. Tapi tetap saja dipersilahkannya istriku memasuki ruang bersalin. Aku, Mak dan Wak Raskiah cemas menunggu di luar. Semenit, dua menit. Seperempat jam, setengah jam. Sejam, dan terdengar suara tangisan bayi yang pelan. Bidan Ratna pun keluar. Masih dengan roman serupa; memberengut. Dia mengambil kertas. Mencorat-coret sebentar.Â
"Kami boleh melihat Salmiah?" Mak menatap Bidan Ratna tajam. Si bidan melengos. Setelah membetulkan letak kacamatanya yang miring, dia menjawab, "Boleh!" Bergegas kami memasuki ruang persalinan. Tampak Salmiah kelelahan. Tapi senyumnya cerah, karena anak pertama kami telah lahir. Bidan Ratna cepat-cepat masuk. Digendongnya anak kami ke arah meja yang di atasnya ada lampu bercahaya merah suram. Bayi kami diletakkan di situ. Diberi balutan popok, agar hangat. Ah, betapa kecilnya bayi itu. Aku sendiri tak sanggup menatapnya lama-lama. Aku kasihan. Tapi rasa senang melihatnya sehat-sehat, membuat langkahku dipaksa agar lebih dekat. Mak sumringah. Wak Raskiah meneteskan air mata.
Bidan Ratna menggamit tanganku ke ruang lain. Dia mengatakan nominal biaya persalinan, "Limaratus ribu."
"Oh," jawabku. "Kami belum membawa uangnya. Mungkin nanti malam baru bisa diantarkan." Aku membisu. Bidan Ratna pura-pura melihat ke luar jendela. "Tapi istri dan anak saya sehat, kan?"
Dia mengangguk. "Enam jam lagi sudah boleh pulang," lanjutnya.
Pikiran dusunku langsung menggeliat. Enam jam lagi boleh pulang, wah... beruntung benar. Biaya persalinan Salmiah tak perlu ditambah dengan biaya menginap. Cukuplah! Cukuplah!
Tujuh jam berikutnya, kami sekeluarga sudah berada di rumah. Beberapa sanak dan tetangga menjenguk. Mereka sama senang melihat Salmiah dan anak kami sehat-sehat saja. Sementara aku, tak kurang senangnya. Anak pertama yang kutunggu-tunggu telah lahir. Jenis kelaminnya lelaki. Meskipun kelahirannya kurang bulan atau seperti kata temanku, prematur, namun aku bangga. Dialah jagoanku!Â
Rasa senang kami sekeluarga, besok paginya terjawab. Si bayi yang mungil, tiba-tiba menggeliat keras. Kemudian kejang-kejang, dan menghembuskan napas terakhirnya. Aku menangis sesunggukan. Salmiah histeris. Dia tak tahan, bayi yang belum puas disusuinya itu, telah pergi selamanya. Semua orang menyesal, mengapa dia terlahir prematur.
Aku teringat Bidan Ratna. Emosiku mencapai  ubun-ubun. Seharusnya dia tak menyuruh istri dan anakku pulang cepat dari ruang persalinan. Seharusnya dia mengatakan kondisi kesehatan bayi kami tak aman. Jadi, kami bisa mengambil tindakan pencegahan, sebelum sekarang terlambat, dan buah cintaku itu meninggal.
Rum, teman sejawatku di perusahaan kayu, memberi saran, "Adukan saja si bidan ke polisi. Harusnya dia bertanggungjawab. Harusnya dia yang lebih tahu, memberikan penjelasan yang benar. Sebagai bidan di sini, dia harus mengatakan bahwa anakmu lahir tak normal dan tak sehat. Dia harus menyarankan supaya anakmu dibawa ke rumah sakit umum, bila alat yang biasa disebut orang inkubator itu, tak ada di rumahnya. Kau dan istrimu harus menuntut. Ini persoalan nyawa manusia!"
Temanku benar. Bidan Ratna adalah penyebab semua ini, meskipun sebagai penentu adalah Tuhan. Ya, aku harus menuntut perempuan itu.
Tapi Salmiah menahan niatku. Katanya, "Kita orang miskin, Bang. Kita tak mungkin menang melawan orang berduit. Yang ada hanya akan kalah. Kita pasti kehabisan uang mengurusnya. Sebab orang seperti kita, akan sengaja dikalahkan. Ingat saja, seluruh program pemerintah tak pernah kita dapatkan, sebab kita tak memiliki uang dan dekat dengan Pak RT, Pak RW dan Pak Lurah. BLT tak kunjung singgah ke kocek abang dan aku. Lalu kompor dan tabung gas. Â Beras miskin. Askeskin. Sudahlah, Bang. Orang miskin seperti kita dilarang menuntut terlalu banyak. Orang miskin dilarang cengeng, dilarang bermimpi. Dilarang lapar, dilarang sakit. Dilarang pintar, dan harus tetap bodoh. Apa lagi yang Abang harus lakukan?"
Aku terduduk lesu di rusuk ruang depan rumah. Kulihat mendung berarak di langit. Sebentar lagi mungkin hujan. Â Mak menegurku, "Anakmu akan dibawa ke pekuburan, Lian!"
Seketika kupupus rasa ingin menangis yang meledak-ledak di dada. Orang miskin dilarang cengeng!
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H