"Mungkin dia mau melahirkan," katanya.
"Tak mungkin! Umur kehamilannya baru tujuh bulan," jawab Mak.
"Bisa saja. Coba, maaf, lihat selangkangannya. Adakah berair atau berbercak darah," lanjut Wak Raskiah.
Mak langsung memeriksa ke dalam kain sarung istriku. Seketika dia menjerit. Dia mengatakan istriku benar akan melahirkan. Maka aku pun panik. Segala maksud untuk berbelanja bahan makanan dan minuman ke pasar, terpaksa dibatalkan. Apa gunanya menyelenggarakan acara nujuh bulan, sementara si jabang bayi sudah memaksa mau keluar dari rahim ibunya.
Cepat-cepat kuambil tas, lalu mengisinya dengan pakaian untuk keperluan calon bayi, juga berberapa lembar baju Salmiah, berikut masing-masing setengah lusin pakaian dalam. Kami semua panik, apalagi beberapa tetangga yang ingin membantu keperluan acara nujuh bulan, sudah berdatangan. Aku terpaksa meminta mereka pulang, sekaligus mengabarkan kepada para undangan tentang batalnya acara itu.
Tujuan pertama demi pertolongan persalinan Salmiah, tak lain adalah mendatangi Bidan Ratna. Dialah satu-satunya bidan yang mengurusi persalinan di dusun kami. Kalau ingin ke kota, selain jauh, juga butuh ongkos taksi yang mahal. Lagipula, kelak perlu dana cukup banyak untuk membayar semua biaya rumah sakit.
Tak sampai seperempat jam, kami sampai ke tempat praktek Bidan Ratna. Dia menerima kami dengan setengah marah. Sebab dia sedang sibuk mempersiapkan acara ulang tahun anakknya yang keempat tahun. "Kenapa tak dibawa ke rumah sakit? Aku sebentar lagi ada acara."
"Kami tahu, Bu. Tapi tolonglah istriku. Dia hampir melahirkan. Ibu tak kasihan melihatnya? Lagipula keluarga kami sudah sering dibantu ibu untuk melahirkan."
Dia tak menjawab. Wajahnya memberengut. Tapi tetap saja dipersilahkannya istriku memasuki ruang bersalin. Aku, Mak dan Wak Raskiah cemas menunggu di luar. Semenit, dua menit. Seperempat jam, setengah jam. Sejam, dan terdengar suara tangisan bayi yang pelan. Bidan Ratna pun keluar. Masih dengan roman serupa; memberengut. Dia mengambil kertas. Mencorat-coret sebentar.Â
"Kami boleh melihat Salmiah?" Mak menatap Bidan Ratna tajam. Si bidan melengos. Setelah membetulkan letak kacamatanya yang miring, dia menjawab, "Boleh!" Bergegas kami memasuki ruang persalinan. Tampak Salmiah kelelahan. Tapi senyumnya cerah, karena anak pertama kami telah lahir. Bidan Ratna cepat-cepat masuk. Digendongnya anak kami ke arah meja yang di atasnya ada lampu bercahaya merah suram. Bayi kami diletakkan di situ. Diberi balutan popok, agar hangat. Ah, betapa kecilnya bayi itu. Aku sendiri tak sanggup menatapnya lama-lama. Aku kasihan. Tapi rasa senang melihatnya sehat-sehat, membuat langkahku dipaksa agar lebih dekat. Mak sumringah. Wak Raskiah meneteskan air mata.
Bidan Ratna menggamit tanganku ke ruang lain. Dia mengatakan nominal biaya persalinan, "Limaratus ribu."