"Oh," jawabku. "Kami belum membawa uangnya. Mungkin nanti malam baru bisa diantarkan." Aku membisu. Bidan Ratna pura-pura melihat ke luar jendela. "Tapi istri dan anak saya sehat, kan?"
Dia mengangguk. "Enam jam lagi sudah boleh pulang," lanjutnya.
Pikiran dusunku langsung menggeliat. Enam jam lagi boleh pulang, wah... beruntung benar. Biaya persalinan Salmiah tak perlu ditambah dengan biaya menginap. Cukuplah! Cukuplah!
Tujuh jam berikutnya, kami sekeluarga sudah berada di rumah. Beberapa sanak dan tetangga menjenguk. Mereka sama senang melihat Salmiah dan anak kami sehat-sehat saja. Sementara aku, tak kurang senangnya. Anak pertama yang kutunggu-tunggu telah lahir. Jenis kelaminnya lelaki. Meskipun kelahirannya kurang bulan atau seperti kata temanku, prematur, namun aku bangga. Dialah jagoanku!Â
Rasa senang kami sekeluarga, besok paginya terjawab. Si bayi yang mungil, tiba-tiba menggeliat keras. Kemudian kejang-kejang, dan menghembuskan napas terakhirnya. Aku menangis sesunggukan. Salmiah histeris. Dia tak tahan, bayi yang belum puas disusuinya itu, telah pergi selamanya. Semua orang menyesal, mengapa dia terlahir prematur.
Aku teringat Bidan Ratna. Emosiku mencapai  ubun-ubun. Seharusnya dia tak menyuruh istri dan anakku pulang cepat dari ruang persalinan. Seharusnya dia mengatakan kondisi kesehatan bayi kami tak aman. Jadi, kami bisa mengambil tindakan pencegahan, sebelum sekarang terlambat, dan buah cintaku itu meninggal.
Rum, teman sejawatku di perusahaan kayu, memberi saran, "Adukan saja si bidan ke polisi. Harusnya dia bertanggungjawab. Harusnya dia yang lebih tahu, memberikan penjelasan yang benar. Sebagai bidan di sini, dia harus mengatakan bahwa anakmu lahir tak normal dan tak sehat. Dia harus menyarankan supaya anakmu dibawa ke rumah sakit umum, bila alat yang biasa disebut orang inkubator itu, tak ada di rumahnya. Kau dan istrimu harus menuntut. Ini persoalan nyawa manusia!"
Temanku benar. Bidan Ratna adalah penyebab semua ini, meskipun sebagai penentu adalah Tuhan. Ya, aku harus menuntut perempuan itu.
Tapi Salmiah menahan niatku. Katanya, "Kita orang miskin, Bang. Kita tak mungkin menang melawan orang berduit. Yang ada hanya akan kalah. Kita pasti kehabisan uang mengurusnya. Sebab orang seperti kita, akan sengaja dikalahkan. Ingat saja, seluruh program pemerintah tak pernah kita dapatkan, sebab kita tak memiliki uang dan dekat dengan Pak RT, Pak RW dan Pak Lurah. BLT tak kunjung singgah ke kocek abang dan aku. Lalu kompor dan tabung gas. Â Beras miskin. Askeskin. Sudahlah, Bang. Orang miskin seperti kita dilarang menuntut terlalu banyak. Orang miskin dilarang cengeng, dilarang bermimpi. Dilarang lapar, dilarang sakit. Dilarang pintar, dan harus tetap bodoh. Apa lagi yang Abang harus lakukan?"
Aku terduduk lesu di rusuk ruang depan rumah. Kulihat mendung berarak di langit. Sebentar lagi mungkin hujan. Â Mak menegurku, "Anakmu akan dibawa ke pekuburan, Lian!"
Seketika kupupus rasa ingin menangis yang meledak-ledak di dada. Orang miskin dilarang cengeng!