Kebetulan dia banyak omong. Ramah maksudku. Jadi, mengayuh becak menjadi nikmat. Aku bersiul-siul sambil sesekali menjawab pertanyaan perempuan itu. Dia menanyakan berapa orang anakku, kujawab seorang. Dia menanyakan berapa istriku, kujawab juga seorang, itu pun tak habis dimakan berbilang tahun.Â
Dia tertawa. Bahunya yang gempal berguncang-guncang. Dia bertanya lagi berapa lama aku membecak. Kujawab hampir separuh usia perkawinanku dengan istriku. Dia bertanya lagi berapa usia perkawinan kami. Kujawab hampir sepuluh tahun.
Ketika dia turun, ongkos yang diberikannya kepadaku seramah dia membincangiku. Hampir saja aku mencari kembalian di warung pinggir jalan, kalau saja dia tak mencegahku. Katanya biarlah untukku saja. Sebagai upah atas obrolan segar barusan. Oh, Tuhan. Rejeki tak ke mana. Aku menggumpal uang dua puluh ribuan itu sambil menciuminya. Seorang pembecak lain menggerutu dan menyebutku gila. Aku hanya tertawa.Â
Bayang-bayang Warsito yang diciptakan Maisaroh di benakku, mengusik lagi. Memang apa yang diperbuat lelaki itu, kalau dipikir-pikir kurang pantas. Dia mengemis-ngemis kepadaku demi uang seratus ribu rupiah. Bahkan katanya, sepulang dari kampung menjenguk bapaknya yang sakit keras itu, dia akan mengembalikan uang tersebut utuh. Kukatakan bahwa itu cuma-cuma.Â
Tak usah dipikirkan. Nyatanya dia benar-benar hilang ditelan bumi. Kabar yang kudapat dari pemilik kamar tempatnya indekos, si Warsito masih menunggak satu bulan. Pemilik kamar indekos itu kesal sekali. Â Dia berpikir Warsito masih akan kembali lagi ke indekosannya. Kiranya tidak.Â
Warsito hanya menyisakan sebuah celana dalam koyak di bawah bantalnya yang berbau apek. Oya, kala itu aku kasihan. Kubayari separuh tunggakan Warsito. Ini kulakukan diam-diam tanpa sepengetahuan Maisaroh.Â
Aku memarkirkan becak di ujung Jalan Ahmad Yani yang berbatasan dengan jalan protokol kota Palembang. Aku tak ingin digaruk polisi pamong praja karena berani menerobos di jalan itu. Meski kondisinya lengang sebab mereka yang berseragam itu sedang libur karena hari ini Minggu. Meski penumpang sanggup membayar lebih untuk tiap kilometernya. Aku tak ingin mencari penyakit dan tak ingin disakiti. Cukup sudah lebam-lebam digebuk kerasnya kehidupan.
Kutatap langit petang yang beranjak gelap. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Sayup terdengar suara mengaji dari menara masjid berjarak sekitar seratus meter dariku. Segera kukenakan peci, dan mengganti bajuku dengan baju yang lebih bersih dari bawah jok becak. Mengambil kain sarung, dan mengenakannya. Celana kulepaskan, kemudian menjejalkannya di bawah jok.Â
Sempat seorang rekan sesama pembecak berseloroh, "Parno, ah!" Aku tertawa. Kutanya apakah dia tak shalat maghrib bersamaku di masjid. Dia menggeleng. Dia beralasan bahwa pakaiannya kotor. Tubuhnya bau, belum mandi. Ada-ada saja alasan orang demi menghindari perundang-undangan Tuhan.Â
Padahal kalau dia dan orang-orang seperti dia melakukan seperti apa yang selalu kuperbuat, pasti hasilnya berbeda. Orang-orang tak perlu berkeliaran seperti setan di jalanan, sementara waktu shalat sudah tiba. Masjid akan penuh jejal, dan Tuhan ada di mana-mana menjawab setiap seruan hamba-Nya. Kuusap wajah. Kulangkahkan kaki menuju masjid.
Terasa enteng juga pikiran usai shalat maghrib. Malam menjadi sangat berwarna. Semangatku berlipat-lipat melebihi petang tadi. Mudah-mudahan rejekiku berlipat juga. Aku ingin membungkam mulut istriku yang suka mengomel dan mengungkit-ungkit masa lalu berkenaan dengan uang. Ya, ya. Walaupun sebenarnya omelannya itu atas partisipasiku juga, yakni tak terlalu giat mencari nafkah.